Waktu
masih lajang saya sempat berpikir tak mau menikah dengan penyandang
disabilitas. Karena waktu itu saya
pernah satu kereta dengan pasangan tuna netra, dan mereka menjadi pusat
perhatian. Si suami tuna netra menuntun
istrinya. Dan menyuruhnya duduk setelah mengetahui ada tempat duduk yang masih
kosong. Semua mata memandang padanya, tak terkecuali saya. Sejak itu harapan
saya tak mau berjodoh dengan sama-sama penyandang disabilitas, malu kalau
ketempat umum sama-sama jadi pusat tontonan.
Walaupun saya difabel, saya berharap ada laki-laki sempurna yang mau meminang saya.
Waktu
terus berlalu, saya sudah lupa dengan pasangan tuna
netra diatas kereta. Setelah
lulus kuliah saya mencoba mencari pekerjaan, lalu saran seorang teman sebaiknya
saya datang ke panti rehabilitasi
bina daksa, biasanya ada
penyaluran tenaga kerja untuk penyandang disabilitas. Sayapun menuruti kata-kata teman saya.
Hari
pertama di panti rehabilitasi ibu saya nyeletuk “ Ya mudah-mudahan aja selain
dapat pekerjaan, bertemu dengan jodohnya.” Ucap ibu dihadapan teman seasrama
saya. “Nggak mau, saya nggak mau punya suami sama-sama cacat.” Teriak saya
spontan.
Ternyata
benar apa kata orang, ucapan orang tua itu doa. Saya terjebak cinlok atau cinta
lokasi. Ada seorang laki-laki yang sudah
memikat hati saya. Bahkan saya tak ingat dengan kata-kata saya
sebelumnya. Saya mendapatkan jodoh di panti, seorang laki-laki penyandang
disabilitas.
Ternyata
cinta itu tak memandang fisik, nyatanya kami
dan ratusan pasangan difabel lainnya bisa bahagia. Walaupun stigma
masyarakat terhadap pasangan difabel masih jelek. Tapi kami memang sudah
terbiasa hidup dengan pandangan sebelah mata.
Saya
sadar ketika menjatuhkan pilihan ada konsekuensi yang harus dijalani. Reaksi
keluarga bermacam-macam, ada yang setuju, ada yang biasa saja, dan ada yang
merasa khawatir. Mereka khawatir bagaimana nanti membangun rumah tangga,
keduanya cacat. Bagaimana jika memiliki anak ? bagaimana jika ada yang
menghina, bagaimana dengan masa depannya, dan ketakutan-ketakutan lain.
Laki-laki
itu kini menjadi suami dan ayah bagi anak-anak saya. Saya sering jalan-jalan ke mall atau ketempat
umum, kami jalan beriringan tanpa rasa risih menjadi pusat perhatian orang.
Bahkan jika orang memandang kami, suami saya langsung menggamit tangan saya. Saya
menjadi tersanjung dengan sikap suami saya yang tidak malu beristri gadis
difabel.
Akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, kami bisa
meyakinkan kepada seluruh keluarga, tentang keraguan-keraguan mereka. Kami
berbagi tugas rumah tangga, dan kami pun bekerja seperti orang kebanyakan. Saya
dan suami berkomitmen untuk bisa mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang
lain.
Tujuh
tahun pernikahan kami, telah dikaruniai dua orang anak yang lucu dan sehat.
Kami begitu bahagia, walaupun terkadang orang memandang kami penuh rasa
kasihan. Tapi biarlah, orang beranggapan apa. Yang jelas bahagia itu sederhana.
Saya selalu
menanamkan kepada kedua anak saya, untuk tidak malu memiliki orang tua difabel
dengan memberinya cinta dan perhatian yang tulus. Mudah-mudahan kami bisa
mendidik dan membesarkan mereka.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!