Memberi dan Menginspirasi

Sabtu, 23 Januari 2016

Curhatan yati, Cinta tak Memandang Fisik


Waktu masih lajang saya sempat berpikir tak mau menikah dengan penyandang disabilitas.  Karena waktu itu saya pernah satu kereta dengan pasangan tuna netra, dan mereka menjadi pusat perhatian.  Si suami tuna netra menuntun istrinya. Dan menyuruhnya duduk setelah mengetahui ada tempat duduk yang masih kosong. Semua mata memandang padanya, tak terkecuali saya. Sejak itu harapan saya tak mau berjodoh dengan sama-sama penyandang disabilitas, malu kalau ketempat umum sama-sama jadi pusat tontonan.  Walaupun saya difabel, saya berharap ada laki-laki  sempurna yang mau meminang saya.
Waktu terus berlalu, saya sudah lupa dengan pasangan  tuna  netra diatas kereta.  Setelah lulus kuliah saya mencoba mencari pekerjaan, lalu saran seorang teman  sebaiknya  saya datang ke panti rehabilitasi  bina daksa,  biasanya ada penyaluran tenaga kerja untuk penyandang disabilitas. Sayapun  menuruti kata-kata  teman saya.
Hari pertama di panti rehabilitasi ibu saya nyeletuk “ Ya mudah-mudahan aja selain dapat pekerjaan, bertemu dengan jodohnya.” Ucap ibu dihadapan teman seasrama saya. “Nggak mau, saya nggak mau punya suami sama-sama cacat.” Teriak saya spontan.
Ternyata benar apa kata orang, ucapan orang tua itu doa. Saya terjebak cinlok atau cinta lokasi. Ada seorang  laki-laki yang sudah memikat hati saya.   Bahkan saya tak ingat dengan kata-kata saya sebelumnya. Saya mendapatkan jodoh di panti, seorang laki-laki penyandang disabilitas.   
Ternyata cinta itu tak memandang fisik, nyatanya kami  dan ratusan pasangan difabel lainnya bisa bahagia. Walaupun stigma masyarakat terhadap pasangan difabel masih jelek. Tapi kami memang sudah terbiasa hidup dengan pandangan sebelah mata.

Saya sadar ketika menjatuhkan pilihan ada konsekuensi yang harus dijalani. Reaksi keluarga bermacam-macam, ada yang setuju, ada yang biasa saja, dan ada yang merasa khawatir. Mereka khawatir bagaimana nanti membangun rumah tangga, keduanya cacat. Bagaimana jika memiliki anak ? bagaimana jika ada yang menghina, bagaimana dengan masa depannya, dan ketakutan-ketakutan lain.
 Laki-laki  itu kini menjadi suami dan ayah bagi anak-anak saya.  Saya sering jalan-jalan ke mall atau ketempat umum, kami jalan beriringan tanpa rasa risih menjadi pusat perhatian orang. Bahkan jika orang memandang kami, suami saya langsung menggamit tangan saya. Saya menjadi tersanjung dengan sikap suami saya yang tidak malu beristri gadis difabel.  
Akhirnya  seiring dengan berjalannya waktu, kami bisa meyakinkan kepada seluruh keluarga, tentang keraguan-keraguan mereka. Kami berbagi tugas rumah tangga, dan kami pun bekerja seperti orang kebanyakan. Saya dan suami berkomitmen untuk bisa mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain.
Tujuh tahun pernikahan kami, telah dikaruniai dua orang anak yang lucu dan sehat. Kami begitu bahagia, walaupun terkadang orang memandang kami penuh rasa kasihan. Tapi biarlah, orang beranggapan apa. Yang jelas bahagia itu sederhana.
Saya selalu menanamkan kepada kedua anak saya, untuk tidak malu memiliki orang tua difabel dengan memberinya cinta dan perhatian yang tulus. Mudah-mudahan kami bisa mendidik  dan membesarkan mereka. 
0

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!