Memberi dan Menginspirasi

Sabtu, 16 April 2022

Pengalaman Ibu Penyandang Disabilitas sebagai ASN


      

      Aku kembali bekerja setelah tujuh tahun hanya diam di rumah menjadi ibu rumah  tangga dan freelancer.  Memang agak canggung ketika harus bangun pagi dan siap-siap pergi ke kantor. Mungkin karena kelamaan berada di zona nyaman xixixi…

Keputusan kembali bekerja

            Semua memang sudah digariskan yang kuasa.  Tak ada suatu peristiwa yang luput dari genggaman Nya. Rencana kembali bekerja di luar rumah memang sudah sejak kelahiran anak kedua, Andi Citra. Saat itu saya dan suami mengalami kebangkrutan, modal usaha yang kami peroleh dari penjualan rumah warisan habis. Karena mungkin tidak sesuai antara pendapatan dan pengeluaran dan  kurangnya ilmu dalam berwirausaha akhirnya modal ludes hingga tak memiliki uang sama sekali.

            Kami pun memutar otak, bagaimana agar kehidupan rumah tangga kami tetap berjalan dan baik-baik saja. Rencana-renacana  mulai dijalankan.  Dan saya memutuskan untuk mencari pekerjaan, suami tetap wirausaha di rumah. Ko kebalik, biasanya istri yang wirausaha di rumah. Ini pun bukan tanpa alasan,  ijazah dan keterampilan saya lebih memungkinkan mendapat pekerjaan yang lebih baik dan diharapkan mendapat gaji yang lebih baik juga.  Disamping itu mobilitas suami yang menggunakan kaki palsu memang agak susah untuk kesana-kemari.

            Hidup memang pilihan, ketika saya memilih suami sebagai imam saya, saya putuskan untuk membantu dalam hal perekonomian. Karena kami berdua disabilitas. Kami harus saling menopang, dan kami keduanya berangkat dari nol. Mau saya atau suami yang lebih unggul, itu tidak masalah. Yang penting kami berkomtmen untuk selalu menjaga keseimbangan dan kewarasan demi keluarga tetap utuh.

 Jangan dianggap mudah mencari pekerjaan bagi penyandang disabilitas seperti saya, tapi bukan saya kalau menyerah.  Selain saya menyebar CV melalui email yang saya dapat dari lowongan pekerjaan di Koran, saya pun dor to door ke perusahaan sekitar rumah.  Kebetulan rumah berada di kawasan industri. Tak hanya itu Saya pun datangi orang-orang yang biasa memasukkan orang ke pabrik.

Ada suatu pengalaman yang tak mungkin saya lupa, yaitu ketika harus mengikuti tes di Jakarta. Saya membaca lowongan menjadi pekerja paruh waktu dan bisa dikerjakan di rumah. Melihat jobdesknya saya bisa melakukan pekerjaan itu. Akhirnya saya minta izin sama orang tua untuk pergi ke Jakarta sekalian mau nitip anak-anak. Anak pertama  saat itu usia  3 Tahun dan yang kedua baru usia sekitar 4 bulan. Karena kesibukan orang tua juga tak mungkin menitipkan keduanya, anak saya yang pertama memang sangat aktif. Akhirnya saya dan suami memutuskan membawa  Andi Nazar (Anjas) ke Jakarta.

Saya juga lupa kapan terakhir ke Jakarta, mungkin saat saya SMA  beberapa tahun lalu. Jakarta sudah banyak berubah.  Kebayang kan ndesonya saya, bertiga dengan suami dan anak saya mengitari kota Jakarta hanya untuk mengikuti tes, naik busway hingga mual karena belum paham, transit sana transit sini, tanya sana tanya sini. Itu sungguh pengalaman yang tak mungkin saya lupakan.

Jangan ditanya lulus atau tidak, yang jelas dari pengalaman saya ke Jakarta itu saya males lagi datang ke sana, karena bagi saya Jakarta bukan kota yang bagus bagi disabilitas seperti saya. Saya pun memutuskan tidak mengambil pekerjaan itu. Walau pun paruh waktu, tapi pasti kalau saya ambil pekerjaan ini saya akan sering pulang pergi Jakarta Bandung.

Saya memang tidak pernah putus asa, setelah mengalami banyak penolakan saya putuskan untuk kembali menulis. Dulu freelancer tidak seperti sekarang. Saya juga masih katro. Saya mulai menulis untuk media. Atas izin Allah tulisanku dimuat, lalu itu menjadi ketagihan yang positif. Saya bisa membantu suami dari menulis. Dan di samping itu saya jualan online yang hasilnya juga lumayan. 

            Suka duka saat Menjadi freelancer dan penulis buku sudah saya tulis di tulisan terdahulu.  Dilalah saat karir menulis sedang meningkat, ada lowongan CPNS formasi khusus disabilitas. Coba-coba saya ikut, padahal saat itu saya tidak berharap lolos, ya namanya untung-untungan. Saya juga tidak yakin bisa menjawab soal-soal yang diujiankan. Maklumlah lulus kuliah sudah 9 tahun yang lalu.

            Saat itu tes CAT di BKN Jakarta Timur. Dengan dorongan dari keluarga tercinta, says pergi sendiri untuk mengikuti tes CPNS.  Karena tiba  di lokasi harus pagi-pagi, saya mencari tempat menginap di rumah salah satu teman lama. Untungnya saya masih ingat rumahnya, jadi tidak terlalu sulit mencarinya.

            Teman saya ini adalah tetangga ketika saya kecil di Jakarta. Mereka merasa surprise saya tiba-tiba datang setelah lebih dua puluh tahun tidak bertemu. Saat saya pindah ke Bandung saya baru kelas 2 SD. Dan kami kehilangan kontak setelah itu.

            Sudah banyak yang berubah, tak kecuali lapangan dan pohon rambutan depan rumah temanku sudah menjadi bangunan rumah-rumah penduduk. Jadi saya harus keliling untuk menemukan rumahnya. Untungnya bapaknya temanku adalah  juragan kontrakan di sana, semua orang tak ada yang tidak kenal dengan beliau.  

            Saya lulus tes CPNS dan bisa mengikuti tes selanjutnya. Ini suatu hal yang sangat tidak terduga, persiapan saya untuk tes hanya mengandalkan keberuntungan, tak ada latihan soal-soal, tak ada persiapan belajar hingga larut malam. Karena badan rasanya sudah lelah menempuh seharian perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang macet, pas kebetulan saya tidak mendapat tempat duduk di bis, saya berdiri dan sesekali kalau pegal saya duduk di bawah.

            Mendengar berita lulus, saya bukannya gembira, malahan galau. Antara diteruskan atau berhenti di sini.  Saya sudah nyaman sebagai freelancer bisa kerja dari rumah sambil jaga anak-anak. Jika saya teruskan  proses seleksi, saya juga harus siap ditempatkan di mana saja. Saya harus siap jauh dari anak-anak dan suami. Melihat kegalauan saya saat itu, justru orang tua yang saat itu masih satu atap sama saya mendukung sekali. “Kesempatan tidak mungkin datang dua kali, banyak orang yang ingin Menjadi PNS, ini adalah jawaban atas doa-doa mu selama ini. Bukankah kamu selalu mencari pekerjaan dan selalu ditolak, inilah rencana Allah selalu lebih indah.” Seperti itu kira-kira semua keluarga menyemangati.

            “Buktikan De bahwa kamu bisa, buktikan sama orang-orang yang pernah merendahkan dan menghinamu, Allah sudah mengangkat derajatmu dengan terpilih Menjadi PNS.” Kata-kata yang keluar dari my love suami tercinta. Saya memang harus menerima pilihan hidup ini, saya jangan egois memikirkan diri sendiri, lihatlah orang-orang di sekitar sangat berharap kamu bisa sukses. Dan saya berpikir masih bisa menjalankan hobi menulis setelah Menjadi PNS itu pasti menyenangkan.

 

 

            Akhirnya bismillah aku lengkapi berkas-berkas, melegalisir ijazah dari mulai SD hingga Perguruan Tinggi,  tes kesehatan lengkap dengan tes kejiwaan. Semua dilancarkan dan diberi kemudahan, mungkin ini memang sudah  digariskan Allah, hampir tidak ada kesulitan mengurus berkas-berkas semua.

            Saya lolos tes CPNS saat usia sudah mentok, usia batas akhir penerimaan yaitu 35 tahun. Teman-teman saya yang kerja di pabrik sudah banyak yang resign dan memilih mengurus anak. Justru kebalikannya saya baru mau mulai kerja. Tenaga dan semangat juga tidak seperti waktu muda. Rasanya saya ingin mundur saja, apalagi membayangkan anak-anak. Pasti akan sulit meninggalkan mereka, karena selama ini hampir tidak pernah berpisah 24 jam.

            Inilah ujian terberat dalam hidup saya, ketika harus berjauhan dengan Citra dan Anjas. Saya penempatan kerja di Jakarta dan anak-anak di Bandung. Usia Anjas saat itu 6,5 tahun dan Citra 4 tahun.  Selama satu bulan saya merasakan bagaimana jauh dari anak. Dan saya tidak kuat, akhirnya saya bawa anak-anak ke Jakarta.

            Karena kantor terletak di Jakarta Pusat, sangat sulit saya mencari kontrakan yang terjangkau. Saya dapat kontrakan jauh dari kota Jakarta, yaitu di Bekasi. Awalnya berpikir di Bekasi, karena banyak teman kantor juga sama-sama tinggal di Bekasi. Toh mereka bisa pulang pergi Jakarta-Bekasi selama bertahun-tahun. Dan ini pun demi bisa pulang kerja berkumpul dengan anak. Memang perlu perjuangan bagi saya seorang disabilitas, tapi sekali lagi memang hidup adalah  pilihan.

            Berangkat kerja ketika waktu masih gelap, dan pulang ketika  matarahari sudah terbenam. Tapi lumayan dari pada saya ketemu anak seminggu sekali. Saya masih bisa membantunya mengerjakan PR dan bermain-main sebelum tidur. Itu pun kalau tidak lelah, kalau badan sudah lelah di perjalanan  paling tidak  saya mendengar celotehnya yang bisa membuat hidup ini seimbang.

            Hari-hari saya jalani tanpa mengeluh, betapa rasanya malu jika masih mengeluh. Cape memang cape kerja dari pagi hingga sore, namun saya selalu berpikir lebih cape yang mencari kerja. Allah sudah memberi banyak kenikmatan hidup, sepatutnya kita banyak bersyukur, karena dengan bersyukur hidup terasa lebih ringan.

            Saya memang tidak merasakan bagaimana meninggalkan anak yang masih bayi pergi kekantor, tidak merasakan rengekan anak untuk tidak pergi kerja, karena anak-anak sudah besar saat saya berkarir kembali. Semua ada hikmahnya, salah satunya saya bisa mengasuh dan menyusui anak-anak hingga usianya 2 tahun.  Dan saya sangat bersyukur karena memiliki kesempatan itu.

            Yang sangat saya suka dan bersemangat kerja di kantor saat ini adalah:

1.     Pekerjaannya memang yang saya sukai.

2.     Lingkungan pekerjaan dan orang-orang  teman sekantor saya yang begitu support dengan keadaan saya.

3.     Memiliki kantor yang bagus.

4.     Kesejahteraan yang terjamin.

Setelah saya jalani hari-hari  sebagai ASN, barulah saya ingat kalau saya pernah berdoa dalam hati, kira-kira  7 tahun yang lalu, saat itu saya lewat tepat di depan kantor dimana saya bekerja sekarang. Saya berucap “Seandainya saya bisa kerja di kantor ini? Di Kementerian Sosial. Ah tapi itu hanya hayalan saya saja.” Saya pun tidak pernah mengingat-ngingat lagi. Mungkin kalau kata orang tua dulu, ada malaikat lewat. Jadi ditulis apa yang kita ucapkan. Wallohu alam.

Rutinitas  saya kerja  dengan  jarak antara rumah dan kantor berjauhan, saya hampir tak pernah punya waktu untuk sendiri. Saya juga di rumah selalu disibukkan dengan urusan domestik dan urusan anak-anak. Tapi semua itu ada waktunya, anak-anak akan tumbuh dewasa, dan saya pasti bisa menekuni dunia tulis menulis kembali.  

Hidup harus dijalani dengan senyuman. Insya Allah akan terasa ringan, salam untuk orang yang di samping Anda. 
0

Jumat, 15 April 2022

Kisah Inspiratif : Penyandang Disabilitas Mencari Duit

Kepikiran omongan temen yang memanasi untuk kembali menulis, jadinya saya membaongkar file lama. “Ayo dong mba Yati nulis buku inspiratif kayak mba Evy,” Aku hanya mbatin dan kubalas hanya dengan senyuman. Emang udah lama juga ngga nulis, ngga kirim ke media. Tapi aku pernah menulis kisah inspiratif,  saat itu penerbit Indiva Media Kreasi membuka lowongan menulis naskah inspiratif untuk ibu rumah tangga yang bekerja. Aku coba kirim, dan tulisanku terpilih diantara puluhan naskah yang masuk. Ini adalah buku antologi dari 15 penulis kalo ngga salah. Ada juga penulis yang udah punya nama. Aku bangga bisa kepilih dan satu buku sama penulis ternama. Dan tulisanku ada di paling belakang di bab terakhir. Tapi itu  tak mengapa. Mungkin tulisannya emang paling berantakan diantara peserta  he..he...

Oh ya ini tulisan terbit sebelum saya jadi CPNS ya, mungkin kalo versi sekarang akan berubah apa yang akan  ditulis ha...ha...

Ketika saya googling di shope ternyata buku ini masih ada, kalo yang berminat membeli versi cetak boleh cari aja ya di shope.

Saya coba posting kembali versi lengkapnya, karena dulu pernah di posting tapi masih bersambung karena kepanjangan. Eh ternyata ada lho seorang pembaca  yang terinspirasi tulisan saya. “Teh saya terinspirasi tulisan Teteh, mau juga jualan online, dan saya juga lagi belajar nulis.”

Harapan saya dengan di postingnya di blog tulisan ini, bisa lebih menginspirasi banyak orang.  

 


 Mencari uang memang bukan kewajiban seorang istri, tapi seorang istri diperbolehkan untuk membantu keuangan keluarga jika memang diperlukan. Idealnya suami yang mencari nafkah dan istri mengurus rumah serta anak-anak. Secara pekerjaan rumah tidak ada habisnya, tentu ada yang terambil haknya jika ibu harus membagi waktu dengan kerja diluar rumah.

Masalah ibu bekerja vs full mom menjadi topik yang tidak ada habisnya dibicarakan orang. Terlebih saat ini Ini dimana seorang wanita memiliki kedudukan yang sama dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan. Seorang ibu yang memiliki pendidikan tinggi pasti merasa sayang jika ilmunya tidak bermanfaat. Terkadang bukan karena kekuarangan materi mereka bekerja, toh suaminya bisa memberi nafkah lebih dari cukup.  Tapi kebanyakan masalah aktualisasi diri. Orang tua yang sudah menghabiskan banyak uang untuk menyekolahkan anak perempuannya, cenderung mendukung anaknya untuk kerja diluar rumah, mereka rela menjaga cucu-cucunya selama anaknya bekerja.

Menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang harus diterima. Seorang ibu yang terpaksa harus kerja kantoran seringkali merasa iri jika melihat ibu rumah tangga yang bisa menemani tidur siang anaknya, bisa mengantar jemput anaknya setiap hari. Dan sebaliknya, ibu rumah tanggapun terkadang merasa iri jika melihat wanita karier yang bisa memiliki penghasilan sendiri, sehingga mereka tidak bergantung pada penghasilan suami.

Tapi di zaman sekarang ini ibu rumah tangga tidak seperti dulu yang hanya  dirumah mengurus anak,  rumah dan suami. Ibu-ibu sekarang walaupun statusnya ibu rumah tangga bisa berkarier dirumah,  ataupun aktif di komunitas social yang sesuai dengan minatnya. Dengan begitu ibu masih bisa menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga dan tetap bisa memiliki penghasilan sendiri.

ini  adalah pengalaman ku sendiri sebagai ibu rumah tangga untuk membantu mencari uang. Aku dari awal menikah memang sudah berkomitmen untuk membantu meringankan beban suami, dengan membantunya mencari uang.

Suamiku penyandang disabilitas, ia  mengalami kecelakaan lalu lintas ketika masih duduk di bangku SMA. Kecelakaan ini mengakibatkan ia harus rela kehilangan kaki kanannya. Dan sejak saat itu suami menggunakan kaki palsu untuk menopang segala aktifitasnya. Sebagai penyandang disabilitas tentu memiliki banyak keterbatasan, terutama dalam mencari pekerjaan.  Akhirnya ia berusaha mandiri dengan mencoba berbagai usaha.  Sudah bermacam-macam usaha ia jalani, mulai dari jadi loper Koran, jualan rokok dan minuman dipinggir jalan, jualan es, jualan pulsa, buka usaha sablon dan lain-lain.  Dan namanya usaha, tidak selamanya berjalan mulus. Terutama jika tersandung dengan modal. Untung tidak seberapa, kebutuhan  banyak. Itulah alasanku untuk ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Walaupun aku tidak sempurna, Yap aku juga seorang penyandang disabilitas, kekurangan ku juga dikaki, kaki kanan jinjit. Aku selalu berusaha menjadi seorang istri dan ibu yang sempurna di depan suami dan anak-anak.  Aku ingin walaupun aku bekerja, tapi urusan rumah tangga dan mendidik anak tetap jadi prioritas.

Sebelum menikah aku pernah bekerja di  sebuah perusahaan, namun ketika anak pertama lahir, aku putuskan untuk  resign, karena pertimbangan anak tak ada yang jaga. Apalagi saat itu banyak sekali pemberitaan di televise mengenai penculikan anak oleh ART atau baby sitter, dan berita penganiayaan anak oleh pengasuhnya.

Dua tahun aku menjadi ibu rumah tangga  full. Lalu lahirlah anak kedua. Kondisi keuangan keluarga semakin memburuk, suamiku belum ada peningkatan usahanya, sedangkan tanggungan bertambah satu. Aku memeras otak bagaimana caranya agar bisa meningkatkan pendapatan. Walaupun dengan berat hati, aku putuskan untuk kembali mencari pekerjaan. Pada saat itu anak pertama berumur 3  tahun kurang, dan anak kedua baru usia 2 bulan.

Yang menjadi dilemma, kalau aku kerja anak-anak masih kecil siapa yang akan menjaga dan mengurusnya. Kalau tidak kerja, penghasilan dari suami hanya cukup  untuk makan sehari-hari, untuk keperluan bayar kontrakan dan lain-lain aku harus memutar otak.

Ditengah-tengah dilemma tersebut, aku terus berdoa agar mendapat pekerjaan yang diridhoi Allah dan tetap bisa mengurus anak-anak. Mulailah aku membeli Koran untuk melihat lowongan pekerjaan. Entah berapa CV  yang sudah aku kirimkan baik lewat pos, email bahkan datang langsung ke perusahaan. Setiap ada panggilan wawancara, aku titipkan anak-anak sama ibu, saat itu jarak kontrakanku dan rumah ibu lumayan jauh. Sedikit ribet memang. Karena keterbatasanku aku juga sulit membawa bayi keluar rumah. Walaupun takut jatuh, aku beranikan dibonceng naik motor sama  suami dengan menggendong bayi.

Iklan lowongan pekerjaan tidak  semuanya benar, ada juga yang penipuan. Itu beberapa kali pengalamanku mendatangi perusahaan fiktif. Aku bela-belain ninggalin anak, beli susu formula, eh  penipuan, dalam iklan lowongan untuk administrasi, kita datangi kesana ternyata sales yang keliling-keliling. Tentu karena keterbatasan fisik aku tak bisa kerja yang memerlukan kaki, seperti keliling jalan-jalan.

Dari sekian banyak surat lamaran, tak ada satupun pekerjaan untuk penyandang disabilitas, padahal ijazahku sarjana. Ada sebuah perusahaan yang sangat peduli pada penyandang disabilitas. Bahkan perusahaan tersebut sudah merekrut para disable lebih dari 50 orang untuk bekerja diperusahaannya. Aku mencoba datang langsung ke bagian HRD, aku diterima dengan baik. Setelah wawancara, pihak perusahaan belum bisa menerima karena yang dibutuhkan untuk operator mesin jahit, sedangkan untuk bagian kantor dan administrasi memerlukan mobile yang tinggi, karena  setiap hari harus keliling dari satu gedung ke gedung yang lain, perusahaan ini sangat luas. Aku tak punya keahlian jahit, juga tak bisa terlalu jalan, kaki ku sakit kalau terlalu banyak jalan.  Tapi aku tak menyerah begitu saja. Aku sudah bertekad untuk membantu suami, aku tak boleh menyerah. Ketika aku memilih menikah dengannya, aku sudah tahu konsekuensi apa yang harus aku terima.  Aku tahu  ini adalah jalan hidup yang aku pilih. Aku ingin buktikan bahwa pernikahanku berkah, yaitu salah satunya dengan meningkatnya kesejateraan keluarga kami.

Bukan saja perusahaan swasta yang aku datangi, aku juga ikut dalam seleksi CPNS. Kalau tidak salah 3 kali aku ikut seleksi CPNS. Tapi nasib belum berpihak. Lalu aku mencoba melamar jadi honorer di beberapa instansi.  Tak ada satupun surat lamaran yang diterima, sulit memang mencari pekerjaan, apalagi bagi penyandang disabilitas.

Sambil terus berdoa, aku mencari peluang-peluang diinternet. Terutama peluang bisnis yang bisa  aku jalankan dirumah. Banyak peluang, iklan-iklan begitu menggiurkan. Tapi jika tidak pandai memilah iklan mana yang benar  dan iklan abal-abal. Karena berapa kali aku merasa tertipu, itulah sepenggal pengalamanku ketika aku harus berjuang mencari pekerjaan.

Suamiku menjual sebidang tanah di kampungnya untuk modal usaha, hanya satu tahun modal habis.  Disaat  modal habis, dan akupun belum mendapat pekerjaan,  kami saling menyemangati dan saling menguatkan.  Dari kecil aku bukan orang yang cepat menyerah, tak mungkin aku bisa menyelesaikan kuliah, jika aku mudah menyerah. Padahal saat itu banyak sekali permasalahan, terutama masalah biaya. Latar belakang keluargaku bukan orang berada, ayahku hanya tukang ojek.  Tapi dengan semangat dan juga dukungan serta doa orang tua, akhirnya aku bisa menyelesaikan S1.

Suami sempat down  dengan situasi ini, aku yang menguatkan. Aku selalu berkata biarlah modal habis,  harta habis, asal semangat jangan habis. Kita masih punya semangat. Akhirnya suami bangkit dengan perlahan dan mulai dari nol.  Suami mulai usaha baru dengan jualan aksesoris wanita, saat itu modal  300 ribu rupiah. Keadaan saat itu benar-benar sulit, keluarga kami memang sedang diuji.

Karena aku sering beli Koran untuk melihat lowongan pekerjaan, aku kembali tegugah untuk menulis, dulu waktu kuliah aku suka menulis dan mengirimkan ke media cetak. Jika dimuat dapat uang, jika tidak dimuat aku merasa tidak rugi, karena menulis adalah hoby, tatkala bisa menyelesaikan satu tulisan utuh, ada kepuasan tersendiri. Apalagi jika tulisan tersebut dibaca oleh banyak orang.

Aku mencoba lagi mengasah kemampuanku menulis. Tujuanku saat ini adalah untuk menambah pundi-pundi keuangan keluarga. Bagaimana caranya anak-anakku  seperti anak-anak lain, mendapat asupan makanan yang bergizi dan bisa mengenyam pendidikan yang terbaik.

Tidak mudah untuk memulai kembali kebiasaan yang sudah lama tidak dilakukan. Dulu aku merasa prustasi, tulisanku tak ada kabar dari media. Aku lelah, dan aku tinggalkan pekerjaanku sebagai penulis. Tapi saat tak ada yang mau menerimaku, instansi pemerintah, swasta aku kembali menekuni pekerjaan ini. Aku mulai lagi menulis setiap ide yang berlintasan di kepala. Mulai lagi punya catatan kecil.

Menulis itu butuh kesabaran ekstra, sabar ketika menuntaskan naskah, dan sabar menunggu naskah dimuat atau terbit. Satu tahun bukan waktu sebentar. Aku merintis dari nol, bedanya ketika aku kuliah kirim naskah masih lewat pos, aku juga harus kerental computer atau warnet jika mau menulis, biasanya aku tulis tangan dulu, dan komunitas penulis masih sulit  untuk difable yang punya keterbatasan gerak. Sekarang semua lebih mudah, komunitas  penulis secara online  juga banyak, aku juga bisa membeli computer sendiri sebagai modal utama  menjadi penulis.

Satu tahun tulisanku tak ada yang dimuat.  Di komunitas aku terus mencari peluang, akhirnya kesabaran berbuah manis. Tulisanku mulai bermunculan di media cetak,  subhanallah tulisan pertamaku muncul pada bulan Romadon dan tidak tanggung-tanggung dalam satu bulan 3 artikel dimuat di media. Padahal saat itu aku mulai menyerah,  memang ini semua pertolongan Allah. Disaat menghadapi lebaran ada rizki yang tidak disangka-sangka yang jumlahnya lumayan untuk ukuran kami sekeluarga.

Dari  menulis aku bisa membantu suami untuk menambah modal dagangannya.   Sehingga pendapatan dari jualan juga meningkat. Orang biasanya memilih pedagang yang lengkap barang dagangannya. Aku semakin semangat menulis,  Dari hanya menulis kemedia-media cetak, aku juga mengembangkan karir dengan menulis buku, menulis blog dan lain-lain. Alhamdulillah kehidupanku jauh lebih baik.

Biasanya menulis buku, aku ajukan outline sama penerbit atau agency naskah. Setelah Acc, aku baru menyelesaikan naskahnya.  Waktu yang diberikan satu sampai dua bulan. Namanya ibu-ibu, pekerjaan rumah sudah pasti tak ada habisnya. Sedangkan aku harus menulis 4-6 halaman perhari. Belum lagi anak-anak juga masih kecil, memerlukan perhatian ekstra. Takutnya saya asyik nulis, anak melakukan hal yang membahayakan.

Aku harus betul-betul mengatur waktu, waktu yang tepat untuk nulis yaitu ketika anak-anak tidur. Yang jadi masalah, kedua anakku sulit tidur, baik tidur siang maupun malam. Apalagi aku juga tak punya asisten rumah tangga. Walhasil  aku harus bergadang.

Itulah memang konsekuensinya jika istri mencari uang, harus bisa mengurangi waktu istirahat. Sampai kondisi kesehatanku ngedrop, tekanan darah rendah karena kurang tidur. Kalau aku sakit masih mending, tapi kalau anak yang lagi sakit, lagi ada DL, kepala udah nyut-nyutan. Takut tidak bisa ngejar target sesuai DL.   

Kalau sudah mepet DL, biasanya aku manggil keponakan ku yang sudah  kelas lima SD untuk main sama anakku yang baru berumur 3 tahun.  Aku merasa tenang kalau dia ditemani main sama kakaknya yang udah besar daripada saya biarkan main sama teman-teman sebayanya. Sebagai imbalan, biasanya saya belikan keponakan saya baju atau keperluan sekolahnya  ketika honor tulisan cair.

Kedua anak ku aktif,  kalau sudah main dirumah, rumah seperti kapal pecah. Semua berantakan. Alat-alat masak berantakan di tengah rumah, meja dan kursi didorong hingga tak beraturan tempatnya. Untung aku punya suami yang pengertian, tak pernah menuntut aku selalu masak. Kalau memang tak ada waktu untuk masak biasanya kami beli di warung yang sudah jadi.

Aku membiasakan untuk melakukan pekerjaan rumah dengan cepat, biasanya kalau lagi mencuci baju, aku sambil masak. Atau mencuci baju sambil ngetik. Pokonya kalau didapur aku seperti memiliki sepuluh tangan.

Dengan segala keterbatasan aku dan suamiku bahu membahu saling membantu pekerjaan rumah yang memang tidak pernah habis. Apabila malam tiba aku dan suami sudah dalam keadaan lelah sekali, suami pulang berjualan, minta dilayani ini itu seperti contoh kecil  siapkan minuman dan makanannya, minta dipijitin, dan lain-lain. Anak-anak pun sama, ada yan minta diambilin nasi, minta dianter pipis, sedangkan kondisi badanku juga sudah sangat lelah dan ingin istirahat. Terkadang kami saling tuduh sama suami ketika anak minta diambilin seusatu atau minta dianter pipis, “ Ma anter sama Mama saya udah dibuka kaki.” Ucap suami yang saat itu sudah membuka kaki palsunya. “ Mama cape banget, kaki mama sakit.” “ Ayolah Ma, seandainya kaki Etta bagus, nggak akan nyuruh mama.” “ Ta mama juga sama cacat.” Akhirnya aku juga yang ngalah.

Ketika anakku yang pertama masuk  TK, aku berpikir bisa memiliki banyak waktu untuk nulis. Karena  aku hanya menjaga satu anak kalau pagi hingga jam 11, biasanya kalau tidak ada kakaknya, anakku yang kecil main sendiri didekatku. Tapi kalau ada kakaknya, sedikit-sedikit menangis digodain kakaknya. Atau main lari-larian. Jadi aku tidak konsentrasi menulis. Ternyata dugaanku salah. Anakku yang pertama tak pernah jauh dari ibunya, sehingga sekolahpun tak mau ditinggal. Aku harus ada didalam kelas menemani. Ya terkadang aku simpan anakku yang kedua di ibuku. Karena kalau dibawa keduanya kesekolah repot. 

Selama satu semester aku harus full nunggu anakku di TK. Terkadang aku bawa netbook ke sekolah. Lumayan waktu yang biasanya terbuang percuma, bisa menghasilkan 1-2 halaman. Para orang tua siswa yang lain, kebanyakan ibu rumah tangga dan para buruh pabrik. Mereka awalnya tidak mengetahui kalau aku seorang penulis, tapi lama-lama mereka tahu karena aku sering bawa netbook dan mengetik di pojok kelas.

Ibu-ibu yang lain merasa iri karena aku bisa mencari uang tanpa keluar rumah, artinya pekerjaan ku bisa dilakukan dirumah, sambil jaga anak. Tapi ada bagusnya juga mereka mengetahui profesiku, yang awalnya ada aja yang memandang sebelah mata, karena aku cacat. Tapi setelah tahu kelebihanku, mereka merasa salut.

Alhamdulillah selama ini aku selalu menyelesaikan DL tulisan tepat waktu. Selain itu aku juga tak ingin anak-anak kehilangan figure seorang ibu, karena ibunya selalu asyik bersama laptop. Aku selalu memanfaatkan waktu-waktu bersama anak dan suami. Dan aku pun selalu menyempatkan untuk mengajar anak-anak mengaji, mengenalkan tauhid, mengajarkan membaca dan menulis, menemani mengerjakan pekerjaan rumah.

Disaat  aku merasa jenuh, aku menghibur diri dengan bermain bersama anak. Seorang penulis pemula, begitu aku selalu memposisikan diriku. Tak dipungkiri kalau rasa cemas dan khawatir aku akan kehabisan ide, khawatir tulisanku tidak diterima oleh masyarakat luas, dan kekhawatiran lainnya yang sangat beragam.

Memang untuk menjadi penulis itu tidak mudah, entah berapa banyak tulisanku yang ditolak media dan penerbit. Semangat naik turun, sedangkan aku dan keluarga dikejar-kejar kebutuhan hidup yang terus meningkat. Anakku semakin besar, mereka butuh pendidikan.

Untuk mensiasati keresahan itu, aku mencari kegiatan lain selain menulis, jadi disaat sepi DL aku menekuni hoby yang lain yaitu bisnis. Ya aku memang suka berbisnis. Bahkan jiwa bisnisku sudah tumbuh sejak aku duduk di sekolah dasar. Entah itu jiwa bisnis atau memang aku saat itu dituntut untuk mandiri dengan mencari uang jajan sendiri.

Sejak SD aku sudah jualan makanan ringan di kelas. Bahkan ketika aku kuliah, aku juga berbisnis MLM, dan saat ini aku menggeluti bisnis online.   Bisnis online memang lagi booming terutama dikalangan ibu rumah tangga. Banyak sekali macamnya bisnis online. Tapi banyak juga aksi tipu menipu di dunia maya.

Aku harus ekstra hati-hati, banyak penawaran bisnis, terutama untuk investasi. Tapi aku selalu menerapkan kehati-hatian. Kalau memang cara kerjanya mudah, dan diiming-imingi keuntungan yang besar, aku nggak percaya.

Aku memilih untuk buka toko online. Walaupun masih di blog  gratisan dan di fanspage. Aku beli buku-buku maupun ebook penunjang bisnis. Aku pelajari seluk beluk bisnis di internet. Aku juga belajar dari orang-orang yang sudah duluan menggeluti bisnis ini.

Banyak orang mengira punya bisnis di internet enak, kerja bisa dirumah. Waktu fleksibel. Karena terlalu fleksibel sampai tak ada waktu untuk yang lain. Itu yang aku rasakan. Jika kerja kantoran ada waktu istirahat dan pulang kerumah, kalau bisnis dirumah terkadang tengah malam kita harus melayani SMS atau inbox yang masuk.

Walaupun sudah belajar ini itu, baca buku-bukunya, toko online ku belum juga mendatangkan hasil. Karena ketiadaan modal aku hanya sebatas dropsiper.  Modalku hanya pulsa internet, sedangkan barangnya aku ambil dari  orang yang memiliki modal. Toko onlineku cukup lama tak menghasilkan  apa-apa. Barang yang aku jual campuran, ada alat-alat rumah tangga, pakaian dan buku-buku. Yang beli di toko online paling satu minggu hanya satu atau dua orang.

Aku tinggalkan toko online, karena  hasilnya tak memuaskan. Aku kembali fokus menulis.  Melalui agency naskah, aku mulai menulis buku dan tetap mengirimkan artikel ke media-media cetak. Kembali bergulat dengan DL, mencari data kelapangan, bahkan pengumpulan foto bila diperlukan.

Anakku keduanya aktif, pernah suatu  hari aku sedang ngetik,  ia menumpahkan air minum ke laptop. Akhirnya beberapa hari laptop tak bisa dipake, dan kembali ke computer yang udah jadul. Ceritanya computer jadul ini akan ku jual,  karena jarang sekali digunakan semenjak ada laptop. Computer ini member banyak kisah, kisah perjuanganku menembus media. Ada yang nawar tapi murah, jadi kubiarkan saja disudut kamar. Ternyata sekarang ada manfaatnya juga, walaupun sering hang.

Aku sering merasakan stress, tatkala beban pekerjaan tak kunjung selesai, dimana aku juga sering mengalami kebuntuan dalam menulis. Lihat rumah berantakan. Lihat anak pada rewel. Lengkap sudah penderitaanku.

Tapi bukankah ini yang aku inginkan, memiliki pekerjaan tanpa harus meninggalkan rumah. Jika melihat saudara-saudara atau teman-temanku yang harus bekerja di pabrik, mereka kena kerja shift, dan harus meninggalkan anaknya mlam hari. Aku mensyukuri pekerjaan ini. Inilah pekerjaan yang Allah pilihkan untukku. Aku sulit sekali mencari pekerjaan, karena Allah memiliki rencana lain yang lebih indah, aku diberi kemampuan untuk merangkai kata-kata dan berimajinasi, aku mensykuri kemampuanku, karena tidak semua orang diberi kenikmatan itu.

Jika memang aku harus kekurangan tidur dan sedikit depresi dengan DL-DL, itu merupakan resiko yang harus aku jalani sebagai penulis. Bukankah  setiap pekerjaan memiliki resiko ? kalau dipikir resiko sebagai penulis termasuk ringan, tidak seperti pekerjaan lain, terkadang nyawa jadi taruhan.

Biasanya aku merefresh otak dengan berjalan-jalan, atau shoping dengan anak-anak. Jika aku sudah lelah dan ngantuk, aku akan tidur dulu, dan bangun dengan keadaan lebih segar siap untuk menulis lagi.

Sudah tiga tahun ini aku konsisten menulis, ada deadline maupun tak ada deadline aku tetap menulis. Hingga menjadi kebiasaan yang tak bisa  aku lepaskan. Aku semakin mencintai pekerjaan ini. Sampai anakku yang baru berusia 3 tahun sering membujuk jika ia mau main denganku agar aku tidak ngetik lagi, atau dia bilang, “ Ma jangan kerja lagi, ayo main sama Ade,”  seperti biasanya aku langsung memeluk anak perempuanku yang lagi lucu-lucunya, segera kumatikan laptop, dan bermain dengannya.

Sebagai seorang ibu dan seorang istri, tentu aku juga harus membagi waktu. Anak-anak dan suami memerlukan aku. Ketika suami pulang dalam keadaan lelah, bagaimanapun sedang sibuknya dengan DL, tugasku sebagai seorang istri melayani suami, salah satunya yaitu  bercakap-cakap atau ngobrol. Karena biasanya pasangan suami istri mereka sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tak ada waktu untuk bercerita. Sehingga komunikasi tidak berjalan. Disaat kita bisa bercerita tentang anak-anak, tentang kejadian-kejadian dirumah dan suamipun bisa mengeluarkan keluh kesahnya, disanalah ikatan emosional suami istri semakin erat.

Cinta yang ada harus terus dipupuk dan disirami dengan kasih sayang. Keharmonisan keluarga menjadi prioritas utama bagiku. Meningkatnya kesejahteraan keluarga tidak lantas menjauhnya keharmonisan antar suami istri maupun orang tua dan anak.  

Aku yakin ada campur tangan Allah disetiap naskah-naskahku. Naskahku sebenarnya biasa-biasa saja, dan tulisanku juga tema-temanya sangat sederhana. Tapi Allah sudah menuntunku untuk tetap di dunia penulisan dengan diberi kesempatan karya-karyaku dmuat dimedia cetak.

Benar kata orang, nulis itu candu. Aku terus ketagihan untuk nulis. Sampai aku  tak ingin mencari pekerjaan diluar rumah seperti dulu. Apalagi setelah mengetahui banyak juga penyandang disabilitas yang menggantungkan hidupnya dari menulis. Aku semakin semangat untuk mengembangkan karir didunia literasi.

Suamiku juga  mendukung seratus persen karirku. “ Tekuni saja, suatu  hari nanti insya Allah akan memetik buahnya.” Begitu yang selalu dikatakan oleh bapak dari anak-anakku. Dia juga dengan ikhlas mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi tugasku, jika  aku sedang ada Deadline.

Suamiku seorang pekerja keras, walaupun penyandang disabilitas tak mau ia menggantungkan dari belas kasih orang lain.  Untuk menafkahi anak dan istrinya ia berjualan aksesoris diatas motor. Mangkal dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Teman-teman sesama pedagang  awalnya tidak tahu kalau ia menggunakan kaki palsu. Seteah mengetahui mereka merasa salut, karena bagi penyandang disabilitas kebanyakan mencari uang dengan menjadi pengemis. Pendapatannya pasti lebih banyak, jika dibandingkan dengan berjualan aksesoris.

Tapi suamiku tetap memilih berjualan, lebih halal dan lebih terhormat dibandingkan harus mengemis. Memang jika ia buka kaki palsunya, dan menggunakan tongkat dipinggir jalan dengan menengadahkan tangan kepada orang yang lalu lalang pasti banyak orang yang merasa iba dan memberinya uang.  Malahan sebaliknya, aku dan suami mengajarkan pada kedua anakku, jangan sampai meminta-minta sama orang lain. Kalau bisa kita yang memberi. Karena tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah.

Walaupun aku tak ingin mencari pekerjaan diluar rumah seperti dulu, aku ingin sekali memiliki penghasilan tambahan.  Keinginan untuk berbisnis  cukup besar, tapi aku juga bingung mau bisnis apa. Terlebih aku masih trauma dengan kegagalan membangun bisnis. Aku sekarang lebih hati-hati untuk mengalokasikan uang untuk modal.

Kembali niatku untuk meneruskan toko online, tapi aku ganti dagangannya. Gayung bersambut, adikku yang berjualan di  Tanah Abang nawarin untuk pemasaran secara online. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Jika dropsip sama orang lain, biasanya harga yang diberikan lebih mahal.

Awalnya dagangan online ku berisi barang campuran, kini aku ganti dengan satu jenis saja yaitu baju koko, baju muslim untuk laki-laki. Karena aku sudah berpengalaman  dengan toko online sebelumnya.  Sehingga tak begitu sulit.  Aku gunakan strategi marketing yang kudapat dari buku-buku maupun pelatihan online.

Alhamdulillah perjuangan dan doa saya membuahkan hasil, omset toko online pada bulan ramadhan kali ini lebih dari 15 juta. Itupun banyak pembeli yang tidak terlayani. Dalam membangun toko online ini memang tak semudah yang kita bayangkan.

Seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua anak balita, aku harus mengorbankan waktu istirahat demi tercapainya apa yang menjadi cita-citaku. Aku membagi waktu untuk mengupload foto-foto dagangan, menjawab inbox, sms yang masuk. Semua aku lakukan dengan enjoy, jadi semuanya terasa ringan.

Banyak suka duka menjalani bisnis dropsip ini. Dukanya ketika dimarahi oleh konsumen karena barang datang terlambat, atau barang tidak sesuai yang diinginkan, karena memang bukan aku yang mengirimkan barangnya. Ini memang resikonya mungkin berjualan online, selain banyaknya penipuan. Barang juga biasanya beda dengan yang terpampang di foto.

Aku juga masih menulis, dan suatu hari nanti aku juga akan menulis tentang bisnisku, bisnis rumahan yang dijalankan oleh ibu rumah tangga. Aku bersyukur memiliki penghasilan tanpa harus meninggalkan rumah. Sehingga aku bisa mengikuti pertumbuhan anak-anak.

Kerja dirumah juga banyak tantangannya, terutama ketika mau mulai kerja, anak minta sesuatu. Biasanya minta makan, minta dianter pipis, minta ditemani main dan lain-lain jika kita kurang sabar banyak orang yang menyerah di tengah jalan. 

Dengan menjalankan bisnis dirumah, waktu untuk berkumpul dengan sesame ibu rumah tangga jadi berkurang, ini menurut ku ada positifnya, karena mengurangi gossip. Ya semenjak aku menjadi penulis aku jadi jarang sekali bergosip sama tetangga rumah.

Pengalamanku ini mudah-mudahan bisa menginspirasi bagi banyak orang, terutama bagi kaum disabilitas. Kaum disabilitas bisa mandiri, asalkan ada kemauan insyaallah ada jalan. Walaupun saat ini aku masih tinggal dirumah orang tua, tapi aku punya keyakinan bahwa aku akan memiliki rumah sendiri.

Ternyata banyak juga penyandang disabilitas yang menggantungkan hidupnya dari menulis, aku jadi lebih semangat mengasah kemampuan dalam menyusun kata-kata.  Dan syukurku tiada henti pada yang maha kuasa yang telah memberi dan menuntunku ke dunia tulis menulis. Mungkin ini adalah jawaban dari setiap doaku. Pada saat masa-masa sulit mencari pekerjaan, aku selalu berpikir positif, bahwa Allah sedang merencanakan yang terbaik untuk kehidupanku. Dan memang benar seperti kata pepatah, kamu adalah apa yang kamu pikirkan.

Dengan menulis aku merasa bisa lebih bermanfaat untuk orang banyak. Dan inilah alasan kenapa aku aku ingin menjadi penulis, karena dengan menulis ide-ide kita bisa diketahui orang, bisa mengubah hidup seseorang dengan membaca tulisan yang penuh inspirasi.  

Alhamdulillah kini usia anakku yang kedua genap tiga tahun, selama itulah aku menggeluti dunia kepenulisan ini.  Selama tiga tahun ini  sudah empat buku solo yang sudah terbit, dan beberapa yang masih menunggu terbit. Dan beberapa tulisan mengenai opini, cerita anak, resensi muncul di media cetak.

Dalam menjalani hari-hariku, aku semakin bahagia. Dan akupun semakin percaya diri dengan statusku sebagai ibu yang nyambi  nulis dan bisnis. Alhamdulillah anak-anakku tumbuh tak pernah lepas dari pengawasanku.

Setiap hari ada targetan yang mesti aku capai, bukan saja masalah dunia. Tapi aku juga ingin anak-anakku menjadi penghapal al quran,  mengajar anak yang efektif adalah dengan contoh dan teladan.  Untuk mewujudkan cita-citaku itu aku juga berusaha menghapal Al Quran dengan metode one day one ayat.  Selain dengan contoh, yang tak pernah aku lupakan adalah berdoa, mudah-mudahan Allah menjadikan anak-anakku sebagai penjaga al quran.

Semua memang butuh perjuangan, apalagi anak-anak tidak bisa dipaksakan kemauannya. Terkadang mereka semangat belajar, terkadang juga kalah dengan tayangan televise yang semakin beragam.  Biasanya aku mengajarkan anak dengan metode bermain agar anak tidak merasa jenuh.

Pada akhirnya berhasil atau tidak programku membentuk anak menjadi seorang hafid dan hafidzah aku kembalikan pada Allah. Yang terpenting aku sudah berusaha semampuku, dan insya Allah aku bercita-cita anak-anakku mau pesantren khusus tahfid suatu hari nanti, dan dimudahkan dalam mencari rizkinya.

Pilihan menjadi ibu rumah tangga ataupun wanita karier diharapkan jangan disesali yang membuat hidup tidak bisa dinikmati.  Jika kita memang tidak memiliki kesempatan untuk berkarier diluar rumah, karena beberapa kendala seperti contohnya aku sebagai penyandang disabilitas, mungkin inilah yang terbaik yang ditetapkan oleh Allah dan Allah memberikan lahan pekerjaan yang terbaik dan tepat untuk aku jalani.

Pesan saya bagi ibu rumah tangga yang ingin memiliki penghasilan sendiri, jangan bosan untuk belajar dan mencoba, jika kita gagal jangan cepat menyerah, cari kelemahannya dan perbaiki.  Mudah-mudahan tulisan ini bisa menginspirasi.

 

0