Terkadang kita bisa dengan mudah menulis memoar atau kisah sukses seseorang. Namun kita sulit sekali menulis tentang ibu kita sendiri yang begitu dekat dengan kita, dan beliau sudah sukses mendidik kita hingga saat ini. Dan terkadang kita lupa kalau kesuksesan yang kita peroleh baik berupa jabatan, kedudukan dan harta yang kita miliki bukan hasil kita sendiri melainkan ada doa dan pengorbanan yang luar biasa dari ibu kita. Saya akui saya juga paling sulit untuk menulis tentang ibu, karena saya tidak punya kata-kata, baru satu baris saja, air mata sudah tak terbendung. Seperti saat ini menulis sambil menangis, tapi tulisan ini harus selesai untuk ikutan lomba hari Ibu.
Amih, begitulah kami seluruh memanggilnya. Wanita yang qonaah. Lahir dari keluarga biasa saja dan tidak memiliki pendidikan tinggi, beliau hanya lulusan SD, namun pendidikan yang beliau berikan pada kami anak-anaknya melebihi pendidikan doktor sekalipun. Ya ibu adalah madrasah utama bagi saya dan adik-adik semua.
Saya menyebutnya wanita yang qonaah, karena sejak ia menikah hidup dalam keprihatinan. Bapak tidak pernah memiliki pekerjaan tetap. Sehingga Amih harus berjuang keras untuk menghidupi saya dan kelima adik saya. Sebagai anak tertua saya tahu betul perjuangannya, pernah jualan masakan keliling kampung dengan berjalan kaki, jadi pembantu di rumah orang lain, membantu orang hajatan, menerima pesanan kue, dan lain-lain. Saya masih ingat masa-masa sulit itu, ketika satu telur dadar harus dibagi empat. Kehidupan begitu sulit saat itu, Amih hanya diberi uang 10 ribu untuk makan kami sekeluarga, jadi setiap hari Amih harus berhutang ke warung.
Walau pun kehidupan begitu sulit, bukan berarti tidak ada kebahagiaan di rumah kami, karena kebahagiaan tidak bisa diukur dari banyaknya harta, kami sekeluarga baik-baik saja dengan himpitan ekonomi, semua anak-anak Amih berprestasi di sekolah, tidak ada yang nakal dan pergaulan bebas, apalagi narkoba, tidak ada yang membangkang ke orang tua. Semua anak amih tidak pernah menyesal memiliki orang tua miskin dan tidak berpendidikan. Kami semua semangat belajar, untuk hidup yang lebih baik. Alhamdulillah kedua orang tua saya sangat mendukung pendidikan, mereka menyekolahkan anak-anaknya, bahkan saya dan adik-adik saya juga pesantren dan sekolah. Masih ada senyum dan canda tawa dari balik rumah kecil kami yang begitu sederhana.
Saya memang tidak selalu sejalan dengan pemikiran Amih, ada perbedaan karakter diantara kami, sehingga memang sering terjadi pertengkaran kecil. Namun bukan berarti saya tidak sayang, bukan berarti saya tidak hormat, semua orang pasti mengalami gesekan dengan orang tua, terutama saat remaja. Tapi Walau pun begitu, saya takut sekali jika menyakiti perasaaannya. Terkadang perbuatan Amih atau keputusan Amih dianggap tidak adil, menyakiti sehingga saya ingin berontak. Tapi seiring dengan waktu, usia saya juga bukan remaja lagi, saya juga sudah menjadi seorang ibu, sedikit demi sedikit gesekan itu bisa berkurang. Saya lebih banyak mengalah dan diam, saya ingin mengurangi dosa, saya juga banyak bertobat agar dosa saya sering membantah pada orang tua dan berakibat pada kehidupan saya sekarang. Dalam hal perekonomian saya jauh tertinggal dari teman-teman saya, dari sepupu saya, dari adik saya.
Saya tahu Doa orang tua adalah obat terbaik di dunia, saya mohon doa sama Amih, dan sedikit-demi sedikit saya kurangi pertengkaran dengan amih, saya perbanyak sedekah. Saya tinggal satu rumah sama Amih dan bapa yang sudah tidak bekerja, Alhamdulillah rezeki saya lancar, tulisan saya berkali-kali dimuat dimedia, buku-buku saya juga satu persatu terbit. Setiap bulannya selalu ada aja rezeki dari nulis, usaha suami juga ada peningkatan. Dan berkat doa orang tua juga tahun 2015 saya lolos tes CPNS.
Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa menginspirasi kita semua.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba nya Cikgu Ida Fauziah.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!