Oleh
: Yati Nurhayati
Buruh kembali kejalan, Disukabumi
sekitar 1200 buruh menuntut UMK (PR, 11/10), Di Purwakarta ratusan buruh
berdemo karena PHK yang dinilai sepihak (PR, 11/10), begitu pula Bandung, para
buruh memblokir jalan Wastukancana, akibat iring-iringan buruh tersebut beberapa
ruas jalan lumpuh/ macet (PR,12/10) .
Mungkin dengan cara begitulah (pikir para buruh) aspirasinya akan
didengar oleh pemerintah setempat untuk
disampaikan kepada para pengusaha. Sebenarnya tidak banyak keinginan buruh,
intinya mereka semua menuntut kesejahteraan.
Implementasi Negara Pancasila
dituangkan dalam tujuan bernegara kita : ialah
“ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. “
Jadi seluruh kegiatan kenegaraan
kita dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar yang menjadi criteria utama
:1. Menyelenggarakan kehidupan bernegara, 2. Menyelenggarakan kesejahteraan
social.
Jika melihat aksi para buruh yang
menghiasi beberapa media massa akhir-akhir ini, berarti buruh tersebut belum
merasa sejahtera. Karena jika sudha
terpenuhi semua kebutuhan hidupnya dalam arti kata sejahtera mereka tidak akan
turun lagi kejalan.
JawaBarat merupakan kota industry,
sehingga sebagian besar penduduknya adalah karyawan/ buruh yang bekerja pada
orang pribumi maupun pada orang asing. Jumlah buruh yang banyak ini
dimanfaatkan untuk turun kejalan, melakukan aksi demo apabila ingin menuntut
haknya ataupun ingin melakukan suatu perubahan.
Kesejahteraan sosial masih jauh
sekali dimiliki oleh buruh, terutama diperusahaan yang memberi upah sangat
minim, namun hal tersebut terpaksa buruh terima karena sulitnya mencari
pekerjaan dan kurangnya keterampilan buruh. Sehingga tidak memiliki daya tawar.
Mereka berpikir daripada tidak memiliki pekerjaan, tidak apa-apa walaupun
gajinya rendah.
Jika diteliti penghasilan karyawan
perbandingannya dengan deret hitung dan
kebutuhan hidup sebagai deret ukur, ketika penghasilan umpamanya 1 maka
kebutuhan 1 dan ketika kebutuhan 2 maka penghasilan masih 1 dan ketika
kebutuhan 5 maka penghasilan baru 2, dan begitu seterusnya.
Hal inilah yang menjadi pemicu
utama pemogokan-pemogokan kerja disejumlah wilayah, yaitu kebutuhan hidup yang
mendesak, sementara pemerintah lebih sering berpihak pada pengusaha.
Setelah para buruh melakukan aksi
besar-besaran, barulah pemerintah turun tangan. Itupun dengan berbagai ancaman
jika tidak dipenuhi tuntutannya akan kembali melakukan aksi yang lebih besar.
Kenapa harus dengan cara seperti itu ? tidak bisakah salah satu dari perwakilan
buruh datang baik-baik kepada bupati atau gubernur untuk mengungkapkan aspirasi
seluruh buruh. Mungkin Aksi turun kejalan yang merugikan banyak pihak tidak akan terjadi.
System perburuhan di Indonesia
masih dirasakan eksploitatif, bekerja dibawah tekanan dan intimidasi merupakan
bentuk pengeksploitasian. Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, hal ini
dapat dilihat pada politik colonial Belanda yang umumnya bersifat eksploitatif
dan didominasi kepentingan ekonomi untuk kemakmuran negeri Belanda sejak
bangkrutnya Verenigde Osst IndiSHE Compagnie (VOC), hingga kapitulasi Belanda
terhadap Jepang tahun 1942, pemerintah cenderung hanya mencari keuntungan
terutama pada masa sebelum politik etis (1900).
Kemudian pada masa kemerdekaan
keberpihakan terhadap pengusaha memiliki dimensi yang berbeda, tergantung
pemerintah yang sedang berkuasa, misalnya pada masa presiden Soekarno
digulirkan program benteng (1955) yang bertujuan melindungi dan mengangkat
pengusaha pribumi, sedangkan kebijakan pembangunan masa presiden Soeharto dalam
prakteknya lebih menampilkan konglomerat. Pada zaman Megawati lebih memihak
kepada pemilik modal (investor). Dan
sekarangpun di era SBY buruh belum bisa merasakan kesejahteraan yang
diinginkannya. Terlebih jika system tenaga kontrak dan tenaga alih daya belum
dihapus.
Tuntutan para buruh mengenai
penghapusan system tenaga kontrak ini sudah lama berlangsung, namun sampai saat
ini belum ada realisasinya. Nampaknya diperlukan perjuangan yang tidak mudah
bagi para buruh untuk sebuah kata kesejateraan.
system kerja kontrak ini sangat merugikan kaum buruh, walaupun jam kerja
nya sama karyawan kontrak dan karyawan tetap memiliki kesenjangan pertama dalam
hal gaji, dan yang kedua dalam hal libur / cuti, karyawan konrak dibeberapa
perusahaan tidak mendapatkan cuti, jadi jika tidak masuk kerja tidak dibayar,
yang ketiga masalah pesangon , karyawan kontrak yang habis masa kontraknya bisa
di keluarkan begitu saja tanpa konpensasi apapun.
Mudah-mudahan dengan
diberlakukannya moratorium tenaga alih daya dan system kontrak ini bisa membawa
angin segar bagi para buruh. Dan buruh tidak lagi harus turun kejalan untuk
menuntut kesejahteraan.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!