Oleh :Yati Nurhayati,SH
Diperkirakan Jakarta akan tenggelam pada taun 2050, begitulah kabar yang simpang-siur terdengar. Benarkah kabar tersebut ? sebenarnya kabar tersbut sudah lama menjadi perbincangan luas dan keprihatinan bersama di kalangan pemerhati lingkungan. Namun demikian, perbincangan dan keprihatinan itu timbul tenggelam karena desakan dan daya tarik pertumbuhan ekonomi di Jakarta.
Tim dari Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melakukan kajian subsidensi permukaan tanah di 23 titik di sekitar Jakarta menyimpulkan, penurunan permukaan tanah bervariasi, 2 sentimeter hingga lebih dari 12 cm selama 10 tahun sejak 1997 hingga 2007.
Hasanuddin Z Abidin, salah seorang peneliti, menyatakan, sebagian besar kawasan barat hingga utara Jakarta mengalami penurunan tanah antara 5 cm dan 12 cm. Adapun wilayah tengah hingga timur penurunan tanahnya hingga 5 cm. Penurunan kawasan timur laut hingga selatan berkisar 2-4 cm.
Penurunan permukaan tanah juga menciptakan kawasan-kawasan cekung yang lebih cepat tergenang saat banjir.
Sebagian kawasan Pademangan, Jakarta Utara, yang beberapa tahun lalu nyaman dilalui, misalnya, kini menjadi langganan rob saat air laut pasang. Kawasan wisata Ancol Taman Impian yang beberapa tahun lalu lebih tinggi daripada permukaan laut kini harus membangun tanggul di sepanjang bibir pantai guna menahan air laut saat pasang. Tanggul pun harus rutin ditinggikan karena permukaan tanah terus turun.
Data Dinas Pengembangan DKI Jakarta bahkan lebih mengerikan. Pada periode tahun 1982 hingga 1997 terjadi amblesan tanah di kawasan pusat Jakarta yang mencapai 60 cm hingga 80 cm. Karena merata, amblesan ini menjadi tidak terasa. Bila penurunan ini terus berlanjut, "tenggelamnya" Jakarta sudah di depan mata.
setiap tahun 320 juta meter kubik air tanah disedot dari perut bumi Jakarta. Padahal, berdasarkan sebuah studi lingkungan yang luas, maksimal air yang bisa disedot dari wilayah DKJ Jaya hanya 38 juta meter kubik. Ini berarti tingkat penyedotan airnya hampir sepuluh kali lipat dari yang seharusnya.
Dengan terus berkembangnya kota dan makin banyaknya bangunan yang berdiri, serta makin sedikitnya lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air, kondisinya lebih parah lagi di masa depan. Sebab bukan hanya jumlah air yang disedot dari perut Jakarta makin besar, tapi juga air yang bias masuk ke dalam perut makin sedikit. Itulah sebabnya, makin lama permukaan tanah Jakarta makin cepat turun.
Berdasarkan data yang dikemukakan Dr. Ali Firdaus, rata-rata penurunan permukaan tanah di Jakarta 10 sentimeter atau sepersepuluh meter tiap tahun. Di Jakarta Barat, misalnya, selama 11 tahun terakhir, permukaan tanah turun 1,2 meter. Di wilayah Kemayoran dan Thamrin, Jakpus, penurunannya 80 sentimeter dalam delapan tahun terakhir.
Yang pertama-tama perlu mendapat perhatian adalah, Jakarta sebetulnya merupakan kota air. Hal ini bisa dilihat dari aspek eco-geografisnya. Jakarta terletak di bawah Bopunjur (Bogor Puncak dan Cianjur) – sebuah kawasan yang mempunyai curah hujan tinggi dan menjadi asal muasal berbagai sungai yang mengalir ke wilayah Jakarta. Karena itu, secara alami, di zaman dulu, Jakarta terkenal sebagai wilayah yang mempunyai banyak situ atau rawa. Sampai kini pun, daerah yang menggunakan nama “rawa” masih banyak sekali di Jakarta. Misalnya, rawajati, rawabokor, rawasari, rawa mangun, rawa buaya, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa daerah bersangkutan memang dulunya adalah rawa. Di tahun 1960-an, di Jakarta masih ada ratusan rawa yang berfungi untuk menampung air hujan dan limpahan air dari Bopunjur. Rawa-rawa ini telah menyelamatkan Jakarta dari banjir besar, sekaligus penyuplai air tanah di sekitarnya.
Kini rawa-rawa tersebut nyaris hilang. Untuk itu, Pemda DKI, seharusnya kembali menghidupan rawa-rawa tersebut. Bila perlu, membangun rawa yang baru karena di lokasi rawa yang lama sulit dibersihkan karena terlalu banyak penduduk dan pemukiman. Rawa umumnya berada di dataran rendah, karena itu pembangunan kembali rawa harus di lokasi yang rendah. Wilayah yang rendah untuk lahan terbuka hijau, sedangkan yang tinggi untuk pemukiman. Bila perlu di lahan terbuka hijau itu dibangun rawa-rawa baru, sehingga bisa menjadi penampung limpahan air, baik dari hujan maupun dari limpahan Bopunjur. Karakter geografis Jakarta yang seperti itu, sulit dirubah, kecuali Jakarta pindah lokasinya.
Bung Karno dulu pernah berpikir akan memindah lokasi ibu kota Jakarta ke wilayah yang aman dari banjir. Sayang ide besar Bung Karno itu tak bisa diwujudkan oleh para pemimpin sesudahnya. Jakarta kembali menjadi ibu kota negara satu-satunya, sekaligus menjadi kota dagang terbesar di Indonesia. Dua status kota Jakarta inilah yang menjadikan pembangunan dan pembenahan Jakarta sulit berjalan bersama. Di AS, misalnya, ibu kota negara adalah Washington. Kota dagang terbesarnya adalah New York. Sebagai ibu kota, Washington bisa dirapikan dan dibuat menjadi kota yang berkarakter sebagai ibu kota Negara. Banyak tanah lapang, banyak taman, banyak lahan terbuka hijau, dan nyaman. Sedangkan New York sebagai kota dagang dibangun sesuai karakter bisnis. Banyak gedung bertingkat dengan lahan yang sangat efisien dari aspek bisnis.
Sekarang bagaimana Jakarta? Inilah sulitnya. Kedua ciri, baik sebagai ibu kota dan kota dagang, sudah terlanjur besar sehingga sulut dipisahkan. Dengan letak geografis Jakarta yang mau tak mau harus menerima banjir kiriman dari Bopunjur dan rob dari pantai utara, mestinya sejak dini, hal itu harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah maupun pusat.
Untuk sementara, yang perlu dipikirkan serius, bagaimana menyelamatkan Jakarta dari limpahan air Bopunjur. Jawabnya, itu tadi, harus menghidupkan kembali rawa-rawa yang mati dan membuat rawa baru di daerah yang permukaan tanahnya rendah. Kedua, membuat sejuta sumur resapan untuk menyerap air hujan yang melimpah di Jakarta. Jika membuat sumur resapan yang besar sulit, bisa diatasi dengan membuat biopori yang garis tengahnya 30 cm dengan kedalaman satu meter, asal jumlahnya banyak. Biopori terbukti bisa menjadi sumur resapan mini yang cukup efektif menyerap air hujan. Setiap rumah tangga di Jakarta bisa membuat beberapa biopori di sekitar tempat tinggalnya. Ketiga, untuk mengatasi rob dan intrusi air laut, perlu digalakkan penanaman pohon mangrove di pantai utara Jakarta. Pohon mangrove disamping bisa mengatasi abrasi dan menahan gempuran ombak saat terjadi rob, juga bisa membuat Jakarta makin sejuk. Ini karena daya serap karbon dioksida pohon mangrove dua kali lipat dibanding pohon biasa.
( Penulis, Ibu Rumah Tangga Anggota Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis Tinggal di Bandung, Dari berbagai sumber )