Ini adalah salah satu judul dalam buku Kumpulan Kisah Inspiratif Penyandang Disabilitas, masih banyak kisah lainnya yang tak kalah seru. Buku ini saya persembahkan untuk teman-teman saya agar tak mudah menyerah kalah. Untuk para orang tua yang sedang mendampingi putra-putrinya yang mengalami kedisabilitasan, dan bagi siapa pun yang ingin mengambil hikmah dari setiap kejadian. Jika ingin membaca kisah lainnya, bisa pesan disini.
Merangkai Kepingan Mimpi
Aku masih ingat waktu itu tahun 1987, ya tepatnya pada tanggal 27 Juli aku
masih berlari-lari dengan teman-teman di sekolah. Tiba-tiba aku terjatuh hingga
gigi depanku copot. Jika dipikir sekarang mungkin itu suatu firasat atau
pertanda sesuatu akan terjadi.
Ya benar saja,
sore hari di tanggal yang sama, telah terjadi tabrak lari di depan rumah yang
begitu dahsyat, korban terpental hingga
200 meter dari tempat kejadian. Yang pertama berteriak histeris adalah ibuku,
beliau baru saja 2 minggu pasca melahirkan. Tak menghiraukan badannya yang
masih lemah, langsung meraih adikku yang berlumuran darah.
Ya korban tabrak
lari itu aku dan adik perempuanku. Aku
yang terpental jauh dan tak sadarkan diri. Karena sesudah itu aku tak ingat
apa-apa. Ketika aku terbangun setelah
dua minggu koma, semua orang-orang yang berada di sekitarku tersenyum bahagia,
mereka memperkenalkan satu-persatu seolah-olah aku hilang ingatan. Sesekali
mereka bertanya, “Ini siapa?” sambil menunjuk seseorang. Pantas saja
orang-orang disekitarku beranggapan demikian, karena aku mengalami gegar otak.
Kepalaku terbentur aspal dengan kuat. Dan anehnya tak ada darah sedikit pun
yang keluar, begitu cerita orang tua ku.
Itulah sebabnya
adikku yang pertama mereka tolong, karena melihat darah bercucuran. Ternyata
aku yang lebih parah, tiga rumah sakit yang didatangi menolak. Terakhir aku
dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Inilah awal baru
dalam hidupku, karena gegar otak itu kaki dan tangan kananku cacat. Usiaku saat
kecelakaan baru 7 tahun. Harapan untuk normal kembali masih ada. Aku mengikuti
berbagai terapi, pengobatan tradisional
hingga pengobatan dukun. Kadang
aku kasihan lihat orang tua, mereka bukan orang berada. Setiap mau berobat
harus mencari uang kesana kemari. Jarak yang jauh ke tempat pengobatan juga jadi
alasan, kenapa aku saat itu malas untuk di terapi atau berobat.
Baru sekarang aku
iseng-iseng cari di Google, penyebab kaki jinjit ternyata memang sulit
disembuhkan jika penyebabnya dari saraf
pusat. Memang menurut dokter yang mengoprasiku dulu, kakiku ini akibat dari
urat saraf.
Sebenarnya saat itu masih
bisa ditangani medis, tapi harus melibatkan beberapa dokter ahli, ahli tulang,
saraf, rehabilitasi medis dan psikoterapis. Tapi saat itu karena kurang
pengetahuan dan memang tidak memungkinkan masalah biayanya. Biaya operasi otak
yang ditanggung orang tuaku membuat usaha orang tua juga kehabisan modal.
Tindakan yang bisa aku
lakukan saat itu adalah menerima keadaan. Walau pun secara umur aku masih
kecil, tapi saat itu aku sudah mengerti keadaan orang tua mungkin karena aku
anak tertua dan adikku lima, jadi pikiranku lebih dewasa.
Aku tahu orang tuaku sudah
berusaha semampu mereka untuk membuatku kembali normal, dan aku tak menyesal
jika memang usaha mereka tak sesuai harapan. Sejak kecil aku mampu menyemangati
diri sendiri. Dengan selalu berpikiran positif dan selalu berharap jika aku
memang ditakdirkan untuk cacat di dunia, mudah-mudahan di kehidupan nanti di
akhirat aku bisa normal dan mendapat kebahagian dengan mendapat surga-Nya.
Pemikiran seperti itu, aku
sudah terapkan sejak kecil, dengan begitu aku selalu senantiasa ingin berbuat
amal sholeh yang di ridhai Allah. Seperti sejak kecil aku selalu rajin sholat
dan khatam quran.
Sikapku seperti itu mungkin
karena aku dibesarkan di lingkungan keluarga religius, sejak kecil aku sering
tinggal bersama kakek yang seorang Kyai atau terkenal juga sebagai ulama. Pasca
kecelakaan aku di terapi di Bandung tinggal bersama kakek, sedangkan orang tuaku
tetap tinggal di Jakarta.
Aku selalu bersyukur meski
pernah di oprasi otak, tak ada gangguan dengan kinerja otak. Bahkan sejak aku
sekolah dasar aku selalu rangking di sekolah. Itulah sebabnya aku juga punya
banyak teman di sekolah, karena selain mereka bertanya sama guru, mereka juga
sering memanfaatkan kecerdasanku.
Bukan berarti aku kasih
jawaban saat ujian lho, teman-teman banyak yang ingin belajar bareng di
rumah, minta diajarin matematika, atau
minta dibantuin saat ada PR. Bahkan ada seorang bapak yang datang kerumah
memberi beberapa liter beras agar aku mau membantu anaknya dalam pelajaran
matematika.
Sedikit yang menjadi masalahku ketika aku SD, aku
selalu iri melihat teman-temanku bisa berganti-ganti sepatu yang bisa
diinginkan. Sedangkan aku kesulitan sekali memilih sepatu yang pas dan nyaman
di kaki. Ketika sekolah aku hanya bisa pake sepatu bertali.
Waktu SD Aku juga sering
menjadi perwakilan sekolah untuk ikut lomba mata pelajaran, aku cukup terkenal
di kalangan guru-guru. Aku orangnya juga cukup pandai bergaul dengan
orang-orang disekitar, keceriaanku mulai berubah ketika aku memasuki masa
puber.
Aku merasakan sekali
perubahan yang terjadi, yang tadinya tak ada masalah dalam pergaulan sosial,
punya banyak teman, disukai banyak guru-guru. Jadi 180 derajat berubah. Aku
jadi pendiam, dikelas tak begitu aktif, bergaul dengan guru seperlunya.
Aku merasakan masa SMA adalah masa yang paling tidak menyenangkan.
Jangankan teman laki-laki, teman perempuan pun bisa dihitung dengan jari.
Temanku di SMA merupakan kumpulan orang-orang yang tak memiliki teman. Orang
bilang cupu.
Menuliskan kisah pada masa
putih abu ini, membuatku harus kembali membuka lembar demi lembar buku harian
yang telah usang itu. Aku memang terbiasa menuliskan setiap kejadian dalam buku
diary. Rencananya ingin dibukukan sebagai hadiah untuk anak-anakku. Tapi karena
aku selalu berpindah-pindah rumah, sebagian memang sudah hilang entah terbawa
ke gudang atau sudah dikilo bersama buku-buku bekas lainnya.
Saat remaja, aku sering merasakan jatuh cinta pada
lawan jenis. Tapi aku hanya berani menyimpannya dalam hati, seringnya aku hanya
bertepuk sebelah tangan. Dan jika sudah menyadari hal itu, biasanya aku hanya
bisa menangis dimalam hari.
Masa ini adalah
masa yang terberat, ketika aku galau dengan masa depan dan jodoh. Semua
teman-teman seusiaku memiliki pasangan.
Masalahku semakin komplek bukan saja urusan sepatu. Tapi juga urusan hati.
Begitu banyak hal
yang ingin aku lakukan saat remaja, namun tak bisa terkendala dengan fisik
seperti ketika aku tinggal di pesantren, sering diadakan berbagai perlombaan,
aku tak pernah mendapat kesempatan terpilih. Atau ketika seluruh teman-teman
diundang untuk menyambut pengantin dalam acara shalawatan, aku ditinggal
sendiri.
Akhirnya
bisa kuliah
Pada saat itu, di kampungku
masih jarang yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi, teman SD ada yang sudah
menikah, dan kebanyakan dari mereka bekerja di pabrik. Tapi mimpiku aku bisa
melanjutkan kuliah, itu adalah mimpi yang mustahil bagi orang-orang sekitarku.
“ Biaya kuliah dari mana?”
itulah yang sering dikatakan oleh keluarga besarku. “ Paling putus di tengah
jalan.” Begitulah kira-kira suara sumbang yang sering aku dengar. Mereka memang
tidak salah beranggapan begitu. Lha bapakku hanya seorang tukang ojek, ibuku juga hanya
seorang ibu rumah tangga yang cape mengurus rumah tangga. Adikku semua masih
sekolah dan sekolah saat itu tak ada kata gratis.
Keinginan untuk melanjutkan
sekolah begitu besar, banyak sekali rentetan peristiwa saat itu yang menempaku
agar aku menjadi lebih kuat. Tak terlepas dari urusan hati, lagi-lagi masalah
cinta yang membuatku terus melangkah.
Saat itu aku mengenal
seorang laki-laki, aku masih kelas 3 SMA, masih jauh kalau untuk menikah
mengingat aku masih punya ambisi dan cita-cita. Laki-laki itu menyatakan suka
tapi antara aku dan dia belum ada komitmen apa-apa. Aku juga masih berpikir
harus menikah dengan dia.
Laki-laki itu melakukan
pendekatan lewat keluargaku, tapi belakangan ia menghindar terus. Aku juga tak
mengerti, selidik-selidik ayahnya laki-laki tersebut tak setuju anaknya menikah
denganku, alasannya satu, yaitu fisik. Aku dengar itu dari bisik-bisik keluarga
yang tak sengaja aku dengar.
Aku tak menyesali kepergian
laki-laki itu, namanya bukan jodoh. Tapi yang membuat aku sakit dan kecewa
justru sikap orang tuanya. Sebegitu rendahkah orang cacat dimata mereka. Nah
salah satunya alasanku ingin kuliah, aku hanya ingin buktikan kalau aku bisa
lebih dari orang-orang kebanyakan.
Kalau saat ini banyak sekali
beasiswa yang bisa diperoleh, kita juga bisa mencari di internet peluang kerja
yang bisa dilakukan sambil kuliah. Saat aku sekolah aku memang kurang sekali
informasi beasiswa. Apalagi peluang kerja.
Bismillah aku daftarkan diri
untuk kuliah, aku cacat jadi aku ingin memiliki kelebihan dari teman-temanku
yang normal, mungkin otakku tidak jenius tapi aku rajin, aku memang tidak kaya
tapi aku tekun. Dengan tekad man jadda wa jadda, aku melangkah ke perguruan
tinggi.
Mau tahu bagaimana caranya
aku mengambalikan kepercayaan diri lagi? tentu tidak datang begitu saja, pasti
ada sebab dan akibatnya. Waktu kelas tiga SMA, temanku mengajak bisnis MLM,
terlepas dari pro dan kontra, aku sangat berterima kasih sama MLM ini, karena
berkat pelatihan-pelatihan yang diberikan para leader aku bisa kembali PD.
Saat itu pikiranku pokoknya
aku harus dapat uang untuk biaya kuliah dan lain-lainnya. Aku buka les privat,
buka les ngaji, yang paling membantu ya di MLM itu, aku berhasil merekrut
banyak orang, penjualan ku juga memenuhi target, jadi untuk beberapa semester
aku bisa bayar semester dari honor ku di MLM.
Karena kuliah minim
fasilitas, dan aku juga sibuk dengan downline-downline yang harus aku bina. Aku
tak bisa maksimal kuliah. Aku tak bisa mengejar nilai tinggi, ada dua pilihan
yang begitu berat antara fokus kuliah atau mengurus MLM ku yang semakin hari
semakin banyak downline yang minta bantuan.
Aku putuskan untuk mundur
secara perlahan dari MLM, aku harus membenahi nilai-nilaiku. Karena usaha MLM
ku juga turun, aku tak bisa bayar uang semester. Akhirnya aku cuti, dan tidak
muncul-muncul dikampus. Aku seperti melarikan diri begitu saja. Setelah aku
tahu dari seorang dosen dekat rumahku, aku disaranin untuk datang ke rektor dan
minta keringanan bayar SPP. Sebelumnya aku tak pernah kepikiran untuk mohon
keringanan. Padahal kata dosen tersebut hal tersebut biasa dilakukan mahasiswa
yang kurang mampu.
Aku dapat infomasi tersebut
setelah aku cuti satu semester. Aku turuti apa kata dosen tersebut. Aku
menghadap ke rektor, mengumpulkan segala persyaratan. Aku tak terlalu berharap
banyak dari bantuan ini. Dan memang hingga aku lulus tak pernah mendapat keringanan.
Ceritanya panjang hingga aku
bisa lulus, aku yang ketinggalan satu semester harus ngambil ke bawah mata
kuliah. Ngejar-ngejar dosen. Nggak ada
waktu lagi untuk berbisnis. Badan rasanya lelah kalau pulang dari kampus.
Aku tak pernah mengeluh walau
pun tak memiliki fasilitas komputer di rumah, walau pun kurang buku-buku dan pulang pergi dengan bis
kota. Ya pengalamanku harus bergelantungan di atas bis kota dengan kondisi
fisik yang tidak normal. Sesekali ada orang yang kasihan melihat aku berdiri dan
memberikan tempat duduknya.
Saat itu ongkos bis kota
untuk mahasiswa dan pelajar dua ribu rupiah, tapi aku selalu kasih kondektur
bis Rp 1.000. mungkin kondektur itu kasihan mereka tak pernah minta lagi.
Mereka sudah hapal kalau aku mau turun, menginstruksikan pada supir agar
berhenti lebih lama. Pernah waktu itu aku turun dari pintu belakang, supir dan
kondektur tak melihatku, dan langsung tancap gas. Akibatnya aku terjatuh di
tengah jalan.
Aku terus mencari sumber
penghasilan Untuk biaya kuliah dan lain-lain. Oh ya Aku belum cerita darimana
dapat uang untuk bisa melanjutkan kuliah. Adikku yang laki-laki setelah lulus SMA merantau ke Jakarta, di
sana ia ikut seorang paman untuk berjualan. Berkat dialah aku bisa melanjutan
kuliah. Aku diberi modal untuk jualan, aku beli baju dan kerudung lalu aku jual
ke teman-teman dan tetangga.
Aku juga dapat beasiswa dari
Darut Tauhid lumayan buat tambah-tambah.
Tak sengaja bertemu dengan teman SMP,
inilah awal nya aku mulai menjadi penulis. Saat itu aku juga tidak
yakin, teman ku kuliah di jurusan komunikasi, sekarang jadi jurnalis dan
wartawan, tulisannya juga sudah banyak. Diam-diam aku ikuti jejaknya.
Aku cari koran dan majalah beli buku-buku tentang
menulis, sejak saat itu aku tekadkan untuk menjadi penulis. Sepuluh tahun
menggeluti dunia tulis menulis. Tapi tidak konsisten, dan pernah menyerah
karena tulisan tak kunjung dimuat. Baru dua tahun ini setelah gabung di IIDN
aku kembali menulis.
Namun cobaan tak lantas
pergi begitu saja, saat itu aku masih ditempa dengan berbagai permasalahan yang
membuatku kacau-balau. Adikku akan menikah. Itu artinya aku dilangkah. Aku
ingin berontak, tapi mulut tak kuasa. Akhirnya mulutku mengiyakan, tapi hatiku
sakit.
Entah kenapa aku sakit,
padahal tak ada yang menyakitiku, adikku? orang tuaku? sama sekali mereka tak
pernah menyakitiku, tapi aku merasa disakiti. Aku merasa mereka tak mengerti
dengan perasaanku. Saat itu aku hanya bisa menangis sedih, dan pecahnya saat
menyaksikan kegembiraan mereka di pelaminan, ya adik dan orang tuaku. Aku
menangis sejadi-jadinya di dapur ditemani oleh seorang nenek yang sedang
memasak saat itu. Nenek itu juga ikut menangis melihatku berhamburan air mata.
Aku marah pada diri sendiri.
Saat itu aku sempat berpikir ingin menjadi wanita nakal, karena kalau jadi
wanita baik-baik selalu disakiti. Aku sempat berpikir mau melegalkan pacaran,
padahal selama aku kuliah aku bertekad tidak mau lewat jalur pacaran, aku mau
taaruf dan menikah. Tapi pikiran-pikiran seperti itu tak pernah terealisasi.
Tapi aku pernah mencicipi
kehidupan malam, menurut versiku sendiri. Aku melampiaskan sebagai bentuk
kemarahanku. Aku bersama teman yang mayoritas laki-laki mengikuti pesta tahun
baru hingga pagi, itu sekali dalam hidupku.
Aku lulus walau pun tidak cumlaude, aku jadi sarjana. Diantara
sepupu dan keluarga besarku, aku orang pertama yang berhasil menjadi sarjana,
aku bisa menepis semua ucapan orang kalau aku akan putus di tengah jalan. Dan
Alhamdulillahnya aku bisa menjadi penyemangat adik sepupuku semua. Perjuanganku
menjadi inspirasi bagi mereka untuk terus sekolah walau pun dengan keterbatasan
ekonomi.
Euphoria kelulusan berakhir,
tinggallah aku menentukan kemana selanjutnya aku melangkah. Aku mulai cari
pekerjaan, beberapa kerabat aku hubungi untuk sekedar mencari info. Aku tahu
tak mudah bagi penyandang disabilitas mencari pekerjaan, karena aku harus
bersaing dengan ribuan lulusan sarjana lainnya.
Akhirnya aku putuskan untuk
mengikuti pelatihan vokasional di BBRVBD (Balai Besar Bina Daksa) Cibinong,
banyak penyandang disabilitas alumni dari sini mendapat pekerjaan, karena
BBRVBD sudah bekerja sama dengan beberapa perusahaan yang berada di Jabotabek
dan Bandung. Targetnya bisa bekerja di perusahaan. Jadi selain keterampilan
kerja sesuai jurusan yang diambil di sini juga aspek kedisiplinan sangat
dinilai.
Tidak semua juga alumni
BBRVBD bisa disalurkan kerja, hal ini sangat tergantung dengan lowongan kerja
yang ada, jadi faktor keberuntungan juga mempengaruhi. Kami bersaing di sini,
sebanyak 100 siswa dari seluruh nusantara setiap tahunnya ditempa di sini.
Sedikit informasi tentang
BBRVBD, selama belajar di sini kurang lebih 10 bulan setiap angkatannya
menerima fasilitas gratis. Asrama, makan hingga kebutuhan sehari-hari seperti
sabun, odol, sikat gigi dan pembalut bagi wanita disuplai dari pemerintah melalui Kemensos.
Untuk mengikuti pendidikan di sini ada seleksi.
Menginjakkan kaki dan bisa
belajar di BBRVBD (Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa) membuat aku
merasa sangat bersyukur. Kecacatanku
tidak seberapa, banyak diantara teman-teman satu angkatan yang lebih parah. Dan
aku merasa sangat beruntung diantara mereka hanya ada dua siswa yang
berpendidikan sarjana.
Mungkin ini skenario Allah,
aku harus ketemu jodoh di sini, padahal aku masih ingat percakapan dengan Naomi
teman satu kamar dari NTT dan Masri dari Medan ketika hari pertama aku di
kampus ini.
“ Teh, katanya di sini
sering terjadi cinta lokasi, bahkan banyak yang berjodoh. Kalau Teteh sendiri
gimana ?” Gurau Masri saat menjelang tidur. “ “ Aku kesini hanya ingin belajar,
nggak mau nyari jodoh. Apalagi sama-sama penyandang cacat. Malu kalau di tempat
umum suka pada merhatiin.” “Ini menurut
beberapa pengalaman Teh. Lihat saja nanti teh.” “Biar seperti air mengalir Mar
kalau masalah jodoh, yang jelas aku selepas dari sini ingin punya pekerjaan,
besok masih ospek, ayo tidur !”
Tapi Allah memang
berkehendak lain, Allah memberi jawaban atas doa-doaku selama ini, bahwa dialah
laki-laki yang dipilihkan Allah untuk menjadi imamku, seorang laki-laki yang
sama-sama penyandang disabilitas.
Selama ini belum ada
laki-laki yang serius ingin menjadikan aku untuk menyempurnakan agamanya. Yang
satu ini berbeda, dia mau memperjuangkan dan berkorban. Dan ada beberapa hal
yang menjadi kami saling cocok, yaitu kami sama-sama memliki semangat. Aku tak
memikirkan apa kata orang lagi atau pandangan orang terhadap pasangan
disabilitas.
Menikah di usia 27 tahun,
usia yang cukup matang untuk memasuki gerbang rumah tangga. Bahkan aku termasuk
telat, saat itu adikku sudah memiliki anak usia 3 tahun. Dengan keyakinan dan
doa aku bertemu dengan jodohku.
Satu persatu mimpiku
terwujud aku bisa memperoleh penghasilan tanpa harus bekerja diluar, setelah
perjuanganku mencari pekerjaan dan selalu ditolak, mungkin inilah rencana
Allah. Menunjukkan jalan rizki lewat tulisan.
Bagaimana kisah percintaan
dan rumah tangga ku, kisahnya sudah aku tulis dalam buku antologi "Hebohnya emak-emak". Sedikit bocoran aku menikah dengan Aulia Akbar Syarif penyandang
difabel asal Bugis Makassar.
Gegar otak bisa
disebabkan oleh benturan keras di kepala. Salah satu akibatnya akan
terganggunya fungsi otak atau urat saraf. Orang yang mengalami gegar otak
biasanya akan mengalami gangguan kejiwaan, pendengaran, penglihatan atau
fungsi anggota gerak.
|
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!