Memberi dan Menginspirasi

Sabtu, 08 Juni 2013

Kisah Pinisi Dari Bulukumba




Nyiur melambai ditiup angin, diiringi dengan deburan ombak, pasir putih yang menghampar. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Tidak bisa dipungkiri kalau Indonesia bagian timur  memiliki banyak sekali tempat-tempat yang begitu indah untuk dipandang terutama wisata bawah laut. Seolah tak ada lelahnya mata memandang  salah satu yang wajib dikunjungi yaitu Pantai Tanjung Bira yang terletak di Kecamatan Bonto Bahari, 40 kilometer dari Kabupaten BuluKumba atau 200 kilometer dari Kota Makassar, Ibukota Sulawesi Selatan. 


Tidak jauh dari sini, ada sebuah tempat membuat kapal pinisi, bahkan orang bulukumba biasa disebut  Butta Panrita Loppi ( Butta = bumi, Panrita Loppi = Keahlian dalam merancang, merakit dan melayarkan pinisi). Disinilah Kapal Layar pinisi bermula, hal ini juga yang menjadi kebanggaan masyarakat Bulukumba yaitu Kapal pinisi. Tepatnya di Tanjung Bira keahlian membuat Kapal Pinisi ini. Yang terkenal keahlian  desain dan melayarkan pinisi adalah orang Bira, keahlian mengukur dan merakit adalah orang Ara, keahlian finishing (penghalusan) adalah orang lemo-lemo. Para wisatawan diperbolehkan melihat pembuatan kapal pinisi, dan bisa membeli miniaturnya yang banyak dijual sebagai oleh-oleh khas tanjung Bira.
Kapal  ini memiliki corak dan keunikan yang tidak akan ditemukam di belahan dunia manapun. Keunikan tersebut sekaligus menunjukkan keahlian para pembuat perahu Pinisi. Khususnya, dalam hal merangkai dinding kapal. Betapa tidak, rangkaian kapal bisa tersusun rapi meskipun harus dibuat dalam desain yang melengkung. Malah yanglebih mengherankan lagi karena dalam proses pembuatannya lebih dulu disusun papan atau dinding dibanding rangka atau tulang.
Uniknya, tidak hanya perahu ukuran kecil saja. Tetapi sampai perahu besar dikerjakan dengan cara yang sama. Bahkan salah seorang tokoh Pinisi di Bontobahari, Patta Lolo menyebut salah satu perahu Pinisi pengangkut barang terbesar yang dibuat 1973 berbobot maksimal 200 ton dikerjakan dengan teknik seperti itu. Padahal kapal ini cukup besar karena selain barang, kapal ini bisa memuat ABK hingga 30 orang.
Kapal Pinisi  terkenal dengan ekspedisi internasional Pinisi Nusantara ke Vancouver Kanada 1986 dan Pinisi Ammana Gappa yang mencapai Madagaskar pada 1991 silam.
Keberadaan  perahu Pinisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah Sawerigading yang berkuasa di Luwu sekira abad ke XIV. Salah seorang tokoh pembuat Pinisi, Abdullah menyebut, konon asal mula perahu Pinisi berasal dari cerita terbelahnya kapal Sawerigading sepulang dari Tiongkok untuk menikahi seorang putri bernama We Cudai.
Cerita terbelahnya kapal Sawerigading ini berasal dari sumpah Sawerigading yang berjanji tidak akan kembali lagi ke tanah Luwu setelah meninggalkan tanah kelahirannya untuk menemui We Cudai. Keputusan Sawerigading meninggalkan kampung halamannya lantaran dihalangi menikahi saudara kandungnya sendiri, Watenri Abeng.
Sawerigading diceritakan meninggalkan kampungnya karena bujukan Watenri Abeng sendiri. Sawerigading diminta menemui seorang gadis cantik bernama We Cudai yang berada di negeri Tiongkok yang disebutnya persis mirip dengan wajahnya.
Sawerigading mengabulkan permohonan Watenri Abeng ini dan memutuskan menemui We Cudai dengan menggunakan perahu Welengrenge. Perahu tersebut konon muncul setelah terjadi sesuatu peristiwa ajaib. Diceritakan  bahwa saat itu perahu Sawerigading sudah lapuk dan tidak memungkinkan untuk perjalanannya.
Maka, ditebanglah pohon besar yang ada di Gunung Welengrenge suatu bukit di tanah Luwu. Namun, saat ditebang tiba-tiba kayu besar itu meluncur ke laut kemudian muncul perahu yang megah. Perahu ini kemudian digunakan untuk berlayar hingga berhasil menemui We Cundai. Sawerigading hidup bahagia bersama We Cudai mendapatkan keturunan yakni I Lagaligo. Setelah Sawerigading sekian lama di China dia pun rindu kampung halamannya dan lupa dengan sumpahnya untuk tidak kembali lagi.
Inilah yang menurut cerita menjadi petaka bagi Sawerigading yang membuat perahu Welengrenge ini terbelah saat mendekat tanah Luwu.
Dari peristiwa ini bagian kapal Sawerigading terbelah tiga dan terdampar di Bontobahari. Masing-masing bagian lunas pada haluan sampai buritan terdampar di dusun Lemo-lemo Tanah Beru. Papan dan seluruh bagian lambung kapal terdampar di Dusun Ara. Sedangkan tali temali serta layar terdampar di Bira. Dari ketiga bagian ini menurut sejarah yang kemudian dirakit warga setempat. Itu sebabnya, pada tiga desa tersebut terkenal dengan keahliannya masing-masing. Orang Ara ahli dalam membuat bodi kapal, orang Lemo-lemo ahli dalam membuat dan dasar dan mempekerjakan, dan orang Bira ahli dalam berlayar.

Tulisanku  yang  pernah dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat,
0

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!