Seorang siswa
persamaan paket C bertanya pada saya “ Bu teman saya mau nembak ijazah bisa
tidak ? “ saya balik bertanya “ maksudnya nembak ijazah gimana ?” “ tidak mau ikut
ujiannya, tapi dapat ijazah setara SMA , berapa biayanya ?” begitu ucapnya. “
Pemerintah sudah memberikan keringanan bagi yang putus sekolah, dengan di adakannya ujian
persamaan Paket B dan C. pertemuannya hanya sekali dalam sepekan, selama 1
tahun. Nanti bisa ikut ujian seperti sekolah reguler. Masih minta keringanan, orang lain itu ingin
mendapatkan ijazah harus melewati proses yang panjang. Harus pergi sekolah
setiap hari dan mengikuti sedikitnya 4-5
jam pelajaran setiap hari selama 3
tahun. Bilang sama teman mu, tidak bisa nembak ijazah seperti itu, tetap harus
mengikuti ujian. ” Jawab saya. Tidak puas dengan jawaban saya siswa itupun
bertanya lagi kepada guru lain yang sudah lebih lama mengurusi masalah ujian
persamaan ini.
Fenomena instan
ini bukan hanya terjadi di lingkungan anak putus sekolah saja, tapi juga di
perguruan-perguruan tinggi, jasa
pembuatan skripsi sampai jual beli ijazah palsu marak beredar akhir-akhir ini. Sampai
salah seorang dosen saya selalu mengingatkan keada mahasiswanya, “ jangan hanya
menghargai hasil, tapi hargai proses, bapak lebih menghargai mahasiswa yang
rajin, daripada mahasiswa yang memiliki nilai tinggi, mahasiswa yang berproses
mengikuti perkuliahan minimal 75 %, mengumpulkan tugas-tugas dan mengikuti UTS
dan UAS.”
Mental generasi
muda yang ingin serba instan, tidak menutup kemungkinan akan menjadi generasi
koruptor. Ingin cepat kaya, ingin cepat sukses. Tanpa ingin melalui proses yang
panjang.
Maraknya kasus korupsi di Negara tercinta ini,
jangan-jangan salah pada pendidikannya, yang hanya ingin mengejar nilai , sedangkan
pendidikan karakter masih berupa wacana, implementasinya masih kurang.
Pendidikan karakter
diyakini sebagai aspek penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, karena turut
menentukan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajar
kan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter
menanamkan kebiasaan tentang hal mana yang baik, sehingga peserta didik menjadi
paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif)
nilai yang baik, dan biasa melakukannya (psikomotor).
Pendidikan
karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan
(acting), dan kebiasaan (habit) karena karakter tidak terbatas pada
pengetahuan. Karakter menjangkau wilayah
emosi dan kebiasaan diri.
Disekolah
pendidikan karakter tidak bisa diajarkan seperti mata pelajaran yang lain. Tanpa ada contoh dari kepala
sekolah sebagai pemimpin tertinggi
dilingkungan sekolah dan para guru
pendidikan karakter sulit diimplementasikan. Contoh kecil masalah kedisiplinan, sebagai
karakter yang harus diterapkan kepada
anak didik. Bagaimana mau mengajarkan kedisiplinan, jika guru sering datang
terlambat kesekolah.
Di Negara Jepang
pendidikan karakter sudah berkembang
beberapa tahun yang lalu, orang
jepang menerapkan pendidikan
karakter melalui film-film kartun yang disukai anak-anak. Sebagai contoh dulu
Jepang tidak punya pemain sepak bola yang handal, bahkan pernah mengalami
kekalahan saat dipiala dunia melawan Indonesia. Lalu jepang mengeluarkan film
kartun yang berjudul Kapten Tsubasa,
seorang pemain sepakbola yang memiliki karakter pantang menyerah.
Beberapa tahun kemudian muncullah pemain-pemain hebat bukan saja di Jepang tapi
banyak juga pemain-pemain Internasional
yang berasal dari negri Sakura ini.
Jepang menyadari
pengaruh visual sangat besar terhadap karakter anak. Karena prilaku anak
terbentuk 55 % dipengaruhi oleh visual (melihat), vocal 38 %, dan verbal 5 %.
Perilaku seorang
anak sangat dipengaruhi oleh apa yang dia lihat, apa yang dia dengar, apa yang
dia baca dan dengan siapa dia berteman.
Pendidikan
karakter sangat erat kaitannya dengan
pendidikan agama, pemahaman agama yang benar sangat berguna bagi generasi muda. Saat ini banyak para pemuda yang terkait jaringan teroris. Alih-alih ingin
mendirikan Negara islam, padahal jaringan teroris. Disini peran guru sebagai
tenaga pendidik turut bertanggung jawab dalam
memerangi terorisme dan koruptor
sebagai ancaman terbesar bangsa kita.
Nilai memang penting untuk mengukur kemampuan
siswa, namun nilai bukanlah segalanya,
sehingga untuk memperolehnya harus menggunakan
kecurangan. Nilai merupakan hasil
dari suatu proses, guru yang menghargai
proses tentu tak akan membenarkan kecurangan-kecurangan yang marak terjadi di dunia pendidikan,
seperti contoh kecil kebocoran soal dan
kunci jawaban UAN.
Jjika anak sudah terbiasa melakukan
kecurangan sejak dibangku sekolah, bagaimana jika ia mendapat kepercayaan
memimpin bangsa dimasa yang akan datang.
Mungkin tak akan sungkan lagi melakukan kecurangan yang lebih besar,
karena sudah terbiasa. Semoga hal itu tidak terjadi. Mulailah dari sekarang
untuk menghargai proses bukan hanya hasil.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!