Hembusan
angin malam yang menusuk jaringan kulit hingga terasa kepermukaan tulang tidak
membuatku ingin beranjak dari tempat ini.
Bau khas tanah setelah diguyur hujan membuat udara segar sekali terasa.
Nampak dilangit bintang-bintang sudah bermunculan kembali, setelah tertutup
awan dan akhirnya turun hujan. Ada satu bintang yang cahayanya begitu indah,
aku ingin seperti bintang itu, bersinar terang menerangi malam.
Tak
sabar aku menunggu hari esok, hari dimana aku bisa menunjukkan kepada
orang-orang yang selama ini aku cintai
dan mencintaiku. Pada Bunda, ayah juga Kaka. Bahwa inilah aku. Aku yang manja,
kekanak-kanakkan, sering sakit-sakitan dan
sederet kekurangan lainnya. Ternyata bisa mandiri, dan punya karya yang bisa aku banggakan. Bicara Kaka, aku jadi rindu
sekali sama Kaka, setelah hampir 3 tahun tidak bertemu, semenjak Kaka kuliah di
negeri Kangguru, komunikasi hanya lewat email dan facebook, itupun sangat
jarang. Dan besok kami akan bertemu,
dihari yang akan bersejarah buatku. Kaka
yang super sibuk mau menyempatkan pulang
untukku, yap tentu saja untuk
kebahagianku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana pertemuanku besok, apakah aku
bisa merubah suasana beku dan dingin
menjadi lebih hangat. Apakah setelah jarak dan waktu memisahkan akan mampu
menghancurkan dinding pemisah antara
aku dan Kaka? Kita lihat saja besok.
Kutarik
nafas dalam-dalam “ aah andai Kak Tari ada disini menemaniku menikmati udara
malam, andai aku bisa seakrab bintang dan rembulan. “ penyesalan yang
bertubi-tubi tentang temperamenku yang sangat jelek tak bisa kuhindari setiap
aku teringat Kaka, ingat kebaikannya, ingat perhatiannya, ingat segalanya.
Aku
baru merasakannya akhir-akhir ini, ini sebuah kebesaran Allah, saat aku
memutuskan untuk jauh dari ayah bundaku, saat aku kuliah dikota hujan ini. Ada
banyak hal yang aku rasakan, aku menemukan sesosok bintang yang baru, yang
unik, yap manusia yang unik.
Aku
dan Kak Tari dilahirkan dari rahim yang sama, berada diperut Bunda sama-sama,
menghisap darah yang sama, bahkan
lahirpun hampir bersamaan. Tapi kami berbeda,
karakter berbeda, fisik berbeda, hobi berbeda, kak Tari orangnya supel, komunikatif, kreatif, selalu
ingin nomor satu dalam segala hal, tidak pernah mau menerima kekalahan, sedikit
egois. Justru aku sebaliknya, sulit bergaul, belum apa-apa sudah nerveus, aku
selalu nerima kaka nomor satu dikelas, mungkin egoisnya sama. Fisik kaka sehat,
sebaliknya aku sering sakit-sakitan, selalu ada absen setiap bulannya. Bahkan
kalau kecapean aku sering pingsan di sekolah. Inilah yang paling membuatku iri,
kak Tari pintar, hingga selalu menjadi kebanggaan ayah, setumpuk prestasi
diraihnya, juara olimpiade MIPA, cerdas cermat tingkat provinsi, juara baca
puisi, mendapat beasiswa prestasi, selalu peringkat pertama dikelas, dan masih
banyak lagi prestasi-prestasi disekkolah maupun diluar sekolah. Untungnya wajah
kami mirip sekali, sekilas orang tidak bisa membedakan kami, kalau kak Tari
lebih cantik pasti aku lebih iri lagi. Gimana ngga cemburu, kalau ayah selalu
bandingin aku sama Kak Tari. Aku sering denger ayah atau bunda selalu bandingin
aku sama Kak Tari dihadapan temen-temennya. “ Mentari memang beda sekali sama
adiknya Bintang, Mentari tuh bla-bla-bla…, sedangkan Bintang bla-bla-bla…”
Dalam
beberapa event Kak tari memang selalu menang, ia tak pernah kalah, dan tak mau
menerima kekalahan. Ayahpun mendidik kaka lebih keras, kaka harus selalu nomor
satu dikelas, harus punya nilai Sembilan, pokonya kaka harus the best. Tapi
tidak seketat itu sama aku, kalau aku dikerasin bisa-bisa sakit, atau stress.
Aku lebih dekat sama bunda, karena bunda lebih sabar menghadapi aku.
Pernah
suatu hari saat itu aku masih duduk di SD, kaka nggak mau pulang karena takut
sama ayah, dan malu telah mengecewakannya, peringkat pertama tak lagi
disandangnya, tergeser oleh Dania anak baru pindahan dari luar kota. Kaka nangis mau rangking satu, tidak mau
rangking 2, sudah dibujuk oleh wali kelas kaka tetap tak mau pulang, dia takut
kalau ayah marah. Akhirnya ayah datang kesekolah membujuknya untuk pulang. Aku
yang hanya dapat rangking 5, merasa biasa saja. Kak Tari mendapat rangking 2
sedih sekali kelihatannya.
Terkadang
aku benci sama Kak tari, dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia
punya banyak teman, dia mendapatkan perhatian dari banyak orang, bahkan dari
teman laki-laki, yang membuat aku semakin keki.
Aku
sadar bahwa tidak sepantasnya aku iri hati terhadap saudara sendiri, tapi aku
sulit memulai dari awal, memulai komunikasi yang sudah lama beku, akupun ingin
seperti Alya dan kakanya bisa seperti sahabat yang selalu pergi kemana-mana
berdua, bisa menjadi temen curhat, atau sekedar jalan-jalan bareng. Atau
seperti Reynisa dan tetehnya yang bisa bermanja-manjaan, bisa kompakan. Aku
yang memulai kebekuan ini. Temperamenku yang jelek selama ini, dan kaka
orangnya egois, tidak pernah mau mengalah walau demi adiknya.
Akupun
sudah berusaha untuk memperbaiki suasana, mengubah temperamenku
yang jelek dan ingin memulai suasana yang hangat. Tapi
selalu tidakberhasil, aku selalu gagal untuk mendekati Kak tari. Soalnya Kaka
jarang ada dirumah, tersita oleh kegiatan ekstrakulikulernya, pas datang
kerumah dalam keadaan lelah, penat,
menghiasi wajah Kaka. Akupun ngga tega
mengganggunya, atau hanya ingin sekedar cerita tentang teman-temanku.
Jika
ingat masa lalu, aku memang keterlaluan, terlalu iri hati, barulah kini aku
rasakan arti dari sebuah keluarga, setelah semuanya jauh, rasa rindu sering
menyiksa perasaanku. Memang kesendirian telah membuatku bisa memaknai hidup ini.
Iri dan dengki telah menguras seluruh energiku dan akupun semakin terpuruk
dalam lembah kesengsaraan. Dan aku sendiri tak menyadari potensi yang luar
biasa dari diriku.
Jauh
dari orang-orangyang aku cintai ternyata
bisa menggali potensi, dan mengenali diri ini,
aku menjadi percaya diri, tidak menganggap diri ini lemah, dan tidak
mengukur diri ini dari banyaknya prestasi, atau dari nilai Raport, atau juga
dari penghargaan orang lain terhadap diri kita, tapi lebih dari itu, aku
menilai diri ini karena aku begitu berharga.
Aku
banyak merenung , merenungi semua
yang terlintas dibenakku, merenungi segala yang ada dihadapanku, yang aku lihat,
aku dengar dan aku raba. Ternyata dari
hasil perenunganku lahirlah tulisan-tulisan yang sedikit dimetaforakan dan berbau sastra, yang ketika aku baca
kembali membuatku kaget, apakah ini benar-benar karyaku ? aku sendiri tidak
percaya.
Sebagian
besar tulisanku aku kirimkan ke emailnya Kaka, kaka lah komentator pertama
terhadap hasil karyaku selama ini. Ia
merupakan motivator dan inspiratorku. Jika ada yang layak dipublikasikan, aku
kirim kemedia, lumayan honornya untuk nambah-nambah uang saku. Walaupun tidak
setiap tulisanku diterima oleh redaktur.
Malam
semakin larut, dan akupun terhanyut dalam kenangan bersama Kaka, mungkin karena besok kami akan bertemu.
Kak Tari akan datang ke acara launching novel perdanaku, aku ingin menarik
malam ini agar segera berlalu, hari yang
kunanti-nanti kini telah tiba , dimana aku bisa tunjukkan prestasiku pada
dunia, hari dimana ayah memandangku dengan bangga, seperti yang ayah lakukan
jika kak Tari mendapat kemenangan, sudah lama sekali aku memimpikannya.
***
Dipenghujung
acara
“
Novel ini aku persembahkan untuk ayah bundaku yang setiap desahan nafasnya ada
sebait doa untukku, dan untuk Kak tari satu-saatunya yang tiada henti menjadi
bank inspirasiku selama ini…” semua mata
memandangku dengan bangga, kulihat kaka dengan sekuntum bunga mawar merah
dibarisan belakang tersenyum ramah padaku, tapi kenapa aku tak melihat bunda
? bukankah seharusnya mereka sama-sama.
Tidak
sabar aku ingin menemui Kak Tari, kupersingkat
sinopsys novelku dan bergegas turun dari panggung, aku menyelinap
diantara pengunjung , tiluit ,…tiluit…tiluit..suara ponselku berbunyi sebelum
aku sempat temui Kak tari di bangku belakang. “ Hallo !” “ Iya bun, kenapa,
Bunda dimana sekarang ? “ “ acaranya
sudah selesai nak?” “ udah Bun, kenapa
suara Bunda ? Bunda nangis Ya ? “ “ syukurlah, maafin Bunda ya sayang, bunda
nggak bisa hadir, semalam Bunda dapat kabar pesawat Kaka mu hilang jejak entah
jatuh dimana, seharusnya malam sudah sampai,
ini Bunda masih di bandara tunggu
kabar. Bunda sengaja nggak kasih kabar ke bintang tadi malam, takut mengganggu konsentrasimu
mempersiapkan launching bukunya.” “ Apa ? Lalu siapa wanita tadi bunda ? “
cepat aku bergegas ke bangku belakang. “ Hallo , Bintang kamu masih disana ?
kalau sudah selesai acaranya temani bunda di Bandara ya?” “Ya Bun.” Kututup ponselku segera. Penat
lelah kurasakan, maafin aku Kak belum sempat minta maaf, belum sempat
memperbaiki hubungan kita. Kulihat sekuntum mawar merah tergeletak di atas
kursi. “ bunda aku tak bisa setegar bunda “
aku jatuh tak sadarkan diri.
Bandung, Awal
Desember 2005
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!