Memberi dan Menginspirasi

Kamis, 17 Oktober 2013

Sastrawan Indonesia dan Penghargaan Nobel


The Nobel Prize in literature merupakan hadiah sastra yang paling bergengsi di dunia yang berawal dari kekecewaan Alfred Nobel (1933) terhadap penyalahgunaan dinamit hasil temuannya. Penghargaan ini diberikan kepada orang-orang yang berjasa dibidang perdamaian, sastra dan ilmu. Hadiah nobel yang berkaitan dengan kesusastraan mencakup puisi, roman, cerita pendek, esai, dan pidato / suara.
Sully Prudhome (Perancis ) mendapatkan Nobel pertama (1901),  dan yang terkhir pada tahun 2012 Mo yan (China) dengan realism halusinasinya menggabungkan cerita rakyat sejarah dan kontemporer. Selama lebih dari seratus  tahun belum ada sastrawan Indonesia yang mendapatkan penghargaan ini. Beberapa kali Pramudya Ananta Toer masuk nominasi Nobel, namun setelah ia keburu meninggal, kesempatan putra Indonesia mendapatkan Nobel sastrapun lewat.  Walaupun karyanya di dalam negeri dinilai controversial, Pram Mampu membebaskan diri dan hegemoni kuasa dalam teks-teks sastra. Yakni sastra yang hanya mengagung-agungkan kelas kelas atau kasta satria, sedang kelas-kelas atau kasta-kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali.
Dalam pidato tertulisnya pada saat menerima penghargaan Magsaysay, di Manila, Pram mengatakan bahwa sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, langsung menggiring pembaca pada sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarakat tak punya perhatian pada kekuasaan negara.
Singkatnya, agar masyarakat tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat. Dan Pram memilih untuk tidak berpihak pada sastra semacam itu.
Sehingga tak heran jika Pramoedya Ananta Toer  meski sarat kritik terutama terhadap budaya Jawa yang dominan tapi nuansa humanisme menjalar disetiap halaman-halamannya lengkap dengan berbagai kompleksitas nation pada zamannya.
Dengan kata lain, sastra Pram adalah sastra yang menghadirkan kenyataan sejarah. Dan apa yang disebut kenyataan di Indonesia, memang cukup memojokkan kelas menengah. Sebab mereka mapan diatas penderitaan.(Seno Gumira Adjidarma, 2005;24). Makanya jangan heran jika karya Pram di Indonesia justru dilarang dibaca khalayak.
Menurut HB Jassin  masih sedikit sastrawan  Indonesia  yang menulis keunikan budaya sebagai bahan dasar karya-karya mereka. Budaya yang dimaksud adalah keragaman berbagai kebudayaan nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan kebudayaan itu yang melebur menjadi satu sebagai budaya Indonesia. Dalam peleburan itu sejatinya budaya Indonesia mampu melahirkan sastra tinggi, yakni sastra mampu menegosiasikan beragam budaya dalam di masyarakat. Sastra yang demikian adalah sastra yang mampu mendongrak hegemoni dan menjadi corong bagi masyarakat yang terpinggirkan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kebudayaan Indonesia yang unik itu dimarjinalkan. Para sastrawan dan budayawan justru lebih memilih budaya eropa sebagai bahan dasar kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia diarahkan untuk publik kelas menengah. Jika ditarik ke belakang akar dari itu semua adalah pengaruh politik kolonial yang berhasil menumpas tumbuhnya kesusastraan nasional yang berbicara tentang kemerdekaan bangsa pada saat itu.  
Padahal menurut pantauan Ajip Rosidi, setiap pengarang dengan latar budaya yang besar pada waktunya secara bergiliran mendapat hadiah Nobel.
Kita bisa melihat Ivan Alexsevevich Bunin (Uni Soviet) 1933,  dengan kesenian tegas yang dibawanya mengikuti tradisi Rusia klasik dalam penulisan prosa. Pengarang  dengan latar budaya Jepang (Kawabata Yasunari, 1968; Oe Kenzaburo, 1994), dengan latar belakang Arab Islam (Nadjib Mahfudz, 1988), dengan latar belakang budaya Hitam Afrika (Wole Soyinka, 1986), latar belakang budaya Cina (Gao Xingjian), sedangkan dari latar belakang budaya India adalah sastrawan Asia pertama yang memperoleh hadiah Nobel (Rabindranath Tagore, 1913).(Horison XXXXI, 2006;16) Juga Mo Yan dari  China (2012) dengan realism halusinasinya menggabungkan cerita rakyat sejarah dan kontemporer.
Andrea Hirata  pantas berbangga,  Novel Laskar pelangi  diterbitkan oleh Farrar Strauss and Giroux (FSG), New York. FSG merupakan penerbit yang banyak merilis karya sastrawan peraih Nobel. Sebanyak 23 karya sastra Nobel yang diterbitkan FSG. Misalnya, karya sastrawan Pablo Neruda, Nadine Gordimer, Mari oVargas Llosa, dan karya sastrawan besar lainnya.
Jalan untuk meraih Nobel sastra terbuka lebar bagi Andrea Hirata. Apalagi Novel ini sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Novel Laskar pelangi merupakan  novel bermuatan isu kemanusiaan dan pendidikan. Cathrin Anderson seorang Agen Novel Laskar pelangi di N ew York, yakin kalau Indonesia bisa mendapatkan Nobel.
Novel Laskar Pelangi diterjemahkan oleh Angie Kilben, dari fakultas sastra Ohio. Setelah diterjemahkan, novel Laskar Pelangi menjadi lebih tebal dari versi Indonesia-nya. Novel ini mulai terbit di New York pada November 2012 lalu.  Andrea berharap, novel Laskar Pelangi dapat membawa kabar bagus dengan mendapat Nobel sekaligus menjadi penulis Indonesia pertama yang meraih Nobel.
Namun untuk meraih Nobel memerlukan proses yang panjang, menurut Andrea Hirata perlu dua sampai tiga  lagi Novel terbit di New York. 
0

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!