The Nobel Prize in literature merupakan hadiah sastra yang paling bergengsi di dunia yang berawal dari kekecewaan Alfred Nobel (1933) terhadap penyalahgunaan dinamit hasil temuannya. Penghargaan ini diberikan kepada orang-orang yang berjasa dibidang perdamaian, sastra dan ilmu. Hadiah nobel yang berkaitan dengan kesusastraan mencakup puisi, roman, cerita pendek, esai, dan pidato / suara.
Sully Prudhome
(Perancis ) mendapatkan Nobel pertama (1901),
dan yang terkhir pada tahun 2012 Mo yan (China) dengan realism
halusinasinya menggabungkan cerita rakyat sejarah dan kontemporer. Selama lebih
dari seratus tahun belum ada sastrawan
Indonesia yang mendapatkan penghargaan ini. Beberapa kali Pramudya Ananta Toer
masuk nominasi Nobel, namun setelah ia keburu meninggal, kesempatan putra
Indonesia mendapatkan Nobel sastrapun lewat.
Walaupun karyanya di dalam negeri dinilai controversial, Pram Mampu membebaskan diri dan hegemoni kuasa
dalam teks-teks sastra. Yakni sastra yang hanya mengagung-agungkan kelas kelas
atau kasta satria, sedang kelas-kelas atau kasta-kasta dibawahnya tidak punya
peran sama sekali.
Dalam pidato tertulisnya pada saat menerima penghargaan
Magsaysay, di Manila, Pram mengatakan bahwa sastra yang dilahirkan dalam
pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, langsung
menggiring pembaca pada sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian
naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian
menjadi bagian alat tak langsung kekuasaan agar masyarakat tak punya perhatian
pada kekuasaan negara.
Singkatnya, agar masyarakat tidak mengindahkan politik.
Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat. Dan Pram
memilih untuk tidak berpihak pada sastra semacam itu.
Sehingga tak heran jika Pramoedya Ananta Toer meski sarat kritik terutama terhadap budaya
Jawa yang dominan tapi nuansa humanisme menjalar disetiap halaman-halamannya
lengkap dengan berbagai kompleksitas nation pada zamannya.
Dengan kata lain, sastra Pram adalah
sastra yang menghadirkan kenyataan sejarah. Dan apa yang disebut kenyataan di
Indonesia, memang cukup memojokkan kelas menengah. Sebab mereka mapan diatas
penderitaan.(Seno Gumira Adjidarma, 2005;24). Makanya jangan heran jika karya
Pram di Indonesia justru dilarang dibaca khalayak.
Menurut HB Jassin masih sedikit sastrawan Indonesia
yang menulis keunikan
budaya sebagai bahan dasar karya-karya mereka. Budaya yang dimaksud adalah
keragaman berbagai kebudayaan nusantara yang jumlahnya mencapai ribuan
kebudayaan itu yang melebur menjadi satu sebagai budaya Indonesia. Dalam
peleburan itu sejatinya budaya Indonesia mampu melahirkan sastra tinggi, yakni
sastra mampu menegosiasikan beragam budaya dalam di masyarakat. Sastra yang
demikian adalah sastra yang mampu mendongrak hegemoni dan menjadi corong bagi
masyarakat yang terpinggirkan.
Namun yang terjadi justru
sebaliknya. Kebudayaan Indonesia yang unik itu dimarjinalkan. Para sastrawan
dan budayawan justru lebih memilih budaya eropa sebagai bahan dasar
kesusastraan Indonesia. Sastra Indonesia diarahkan untuk publik kelas menengah.
Jika ditarik ke belakang akar dari itu semua adalah pengaruh politik kolonial
yang berhasil menumpas tumbuhnya kesusastraan nasional yang berbicara tentang kemerdekaan
bangsa pada saat itu.
Padahal
menurut pantauan Ajip Rosidi, setiap
pengarang dengan latar budaya yang besar pada waktunya secara bergiliran
mendapat hadiah Nobel.
Kita
bisa melihat Ivan Alexsevevich Bunin (Uni Soviet) 1933, dengan kesenian tegas yang dibawanya mengikuti
tradisi Rusia klasik dalam penulisan prosa. Pengarang dengan latar budaya Jepang (Kawabata
Yasunari, 1968; Oe Kenzaburo, 1994), dengan latar belakang Arab Islam (Nadjib
Mahfudz, 1988), dengan latar belakang budaya Hitam Afrika (Wole Soyinka, 1986),
latar belakang budaya Cina (Gao Xingjian), sedangkan dari latar belakang budaya
India adalah sastrawan Asia pertama yang memperoleh hadiah Nobel (Rabindranath
Tagore, 1913).(Horison XXXXI, 2006;16) Juga Mo Yan dari China (2012) dengan realism
halusinasinya menggabungkan cerita rakyat sejarah dan kontemporer.
Andrea Hirata pantas berbangga, Novel Laskar pelangi diterbitkan oleh Farrar Strauss and Giroux (FSG), New
York. FSG merupakan penerbit yang banyak merilis karya sastrawan peraih Nobel.
Sebanyak 23 karya sastra Nobel yang diterbitkan FSG. Misalnya, karya sastrawan
Pablo Neruda, Nadine Gordimer, Mari oVargas Llosa, dan karya sastrawan besar
lainnya.
Jalan
untuk meraih Nobel sastra terbuka lebar bagi Andrea Hirata. Apalagi Novel ini
sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Novel Laskar pelangi
merupakan novel bermuatan isu
kemanusiaan dan pendidikan. Cathrin Anderson seorang Agen Novel Laskar pelangi
di N ew York, yakin kalau Indonesia bisa mendapatkan Nobel.
Novel
Laskar Pelangi diterjemahkan oleh Angie Kilben, dari fakultas sastra
Ohio. Setelah diterjemahkan, novel Laskar Pelangi menjadi lebih tebal dari
versi Indonesia-nya. Novel ini mulai terbit di New York pada November 2012
lalu. Andrea berharap, novel Laskar
Pelangi dapat membawa kabar bagus dengan mendapat Nobel sekaligus menjadi
penulis Indonesia pertama yang meraih Nobel.
Namun untuk meraih Nobel memerlukan proses yang
panjang, menurut Andrea Hirata perlu dua sampai tiga lagi Novel terbit di New York.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!