Beberapa
hari ini diberitakan di Televisi Swasta
bentroknya imigran yang menewaskan delapan orang di Rumah Detensi Imigran (Rudenim) Medan. Rumah yang dihuni oleh 284 imigran yang
berasal dari iran Afganistan, Pakistan, Myanmar dan mayoritas Rohingya, yang
mencapai 164 orang (Kompas, 7/4). Miris sekali mendengar bahwa etnis Rohingya
yang mayoritas adalah muslim tidak
diakui di negaranya sendiri Myanmar, sehingga mereka mengungsi di Negara lain
untuk mencari suaka.
Masih
banyak yang belum mengetahui etnis Rohinghya ini, dan mengapa etnis yang
mayoritas muslim ini tak diakui dinegaranya Myanmar. Tulisan ini akan menyoroti Rohingya dari sudut kesejarahan.
Warga
etnis yang tinggal di Negara Bagian
Arakan, Myanmar, cukup bervariasi. Banyak pula perbedaan-perbedaan dan klaim
yang diutarakan para sejarahwan dalam mendeskripsikan asal-usul bangsa
Rohingya.
Seorang sejarawan seperti Khalilur Rahman mengatakan, kata "Rohingya" berasal dari bahasa Arab yaitu "Rahma" yang berarti pengampunan. Sejarawan itu menelusuri pula peristiwa kecelakaan kapal pada abad ke-8, tepatnya pada saat kapal Arab terdampar di Pulau Ramree (perbatasan Burma dan Bangladesh). Pada saat itu, para pedagang keturunan Arab itu terancam hukuman mati oleh Raja Arakan. Mereka memberontak dan berteriak "Rahma." Penduduk Arakan kesulitan untuk menyebut Kata "Rahma" mereka justru menyebut "Raham" (kasihanilah kami) dari "Raham" kata itu berubah menjadi "Rohang" dan akhirnya menjadi "Rohingya."
Namun sejarah itu ditepis oleh mantan Presiden dan Sekretaris Konferensi Muslim Arakan, Jahiruddin Ahmed dan Nazir Ahmed. Ahmed mengklaim, kapal yang terdampar di Ramree adalah kapal milik warga Muslim Thambu Kya, yang tinggal di pesisir pantai Arakan. Merekalah warga Rohingya yang sebenarnya, dan mereka merupakan keturunan warga Afghanistan yang tinggal di Ruha. Sejarahwan lain yang bernama MA Chowdhury memiliki pendapat lain mengenai asal usul Rohingya. Chowdhury yakin, di antara warga Myanmar, ada populasi Muslim yang bernama "Mrohaung." Warga itu berasal dari Kerajaan Kuno Arakan dan nama "Mrohaung" diubah menjadi "Rohang."
Sementara itu sejarahwan asal Myanmar, Khin Maung Saw menjelaskan, warga Rohingya tidak pernah muncul dalam sejarah Myanmar, sebelum tahun 1950. Sejarahwan Myanmar lainnya juga yakin, tidak ada kata "Rohingya" dalam sensus penduduk 1824, yang dilakukan oleh Inggris. Klaim baru pun muncul dari Universitas Kanda yang menyebutkan bahwa warga Rohingya merupakan keturunan dari bangsa Benggala yang bermigrasi ke Burma pada dekade 1950an. Mereka melarikan diri di era kolonialisme. Bersamaan dengan itu, Dr. Jacques P mengatakan bahwa penggunaan kata "Rooinga" sudah ada pada abad ke-18, dan kata itu dipublikasikan oleh seorang warga Inggris. Menurut sejarah, peradaban Muslim di Arakan sudah ada pada abad ke-8, tepatnya di saat pedagang Arab tiba di Asia. Mereka bermukim di Kota Mrauk-U dan Kyauktaw, wilayah itu saat ini dipenuhi oleh etnis Rohingya. Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine.
Seorang sejarawan seperti Khalilur Rahman mengatakan, kata "Rohingya" berasal dari bahasa Arab yaitu "Rahma" yang berarti pengampunan. Sejarawan itu menelusuri pula peristiwa kecelakaan kapal pada abad ke-8, tepatnya pada saat kapal Arab terdampar di Pulau Ramree (perbatasan Burma dan Bangladesh). Pada saat itu, para pedagang keturunan Arab itu terancam hukuman mati oleh Raja Arakan. Mereka memberontak dan berteriak "Rahma." Penduduk Arakan kesulitan untuk menyebut Kata "Rahma" mereka justru menyebut "Raham" (kasihanilah kami) dari "Raham" kata itu berubah menjadi "Rohang" dan akhirnya menjadi "Rohingya."
Namun sejarah itu ditepis oleh mantan Presiden dan Sekretaris Konferensi Muslim Arakan, Jahiruddin Ahmed dan Nazir Ahmed. Ahmed mengklaim, kapal yang terdampar di Ramree adalah kapal milik warga Muslim Thambu Kya, yang tinggal di pesisir pantai Arakan. Merekalah warga Rohingya yang sebenarnya, dan mereka merupakan keturunan warga Afghanistan yang tinggal di Ruha. Sejarahwan lain yang bernama MA Chowdhury memiliki pendapat lain mengenai asal usul Rohingya. Chowdhury yakin, di antara warga Myanmar, ada populasi Muslim yang bernama "Mrohaung." Warga itu berasal dari Kerajaan Kuno Arakan dan nama "Mrohaung" diubah menjadi "Rohang."
Sementara itu sejarahwan asal Myanmar, Khin Maung Saw menjelaskan, warga Rohingya tidak pernah muncul dalam sejarah Myanmar, sebelum tahun 1950. Sejarahwan Myanmar lainnya juga yakin, tidak ada kata "Rohingya" dalam sensus penduduk 1824, yang dilakukan oleh Inggris. Klaim baru pun muncul dari Universitas Kanda yang menyebutkan bahwa warga Rohingya merupakan keturunan dari bangsa Benggala yang bermigrasi ke Burma pada dekade 1950an. Mereka melarikan diri di era kolonialisme. Bersamaan dengan itu, Dr. Jacques P mengatakan bahwa penggunaan kata "Rooinga" sudah ada pada abad ke-18, dan kata itu dipublikasikan oleh seorang warga Inggris. Menurut sejarah, peradaban Muslim di Arakan sudah ada pada abad ke-8, tepatnya di saat pedagang Arab tiba di Asia. Mereka bermukim di Kota Mrauk-U dan Kyauktaw, wilayah itu saat ini dipenuhi oleh etnis Rohingya. Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine.
Akar
Permasalahan
Sebenarnya
konflik antara etnis Rohingya dan Rakhine kerap terjadi sejak puluhan tahun
silam. Apa sebenarnya akar masalahnya? Salah satu akar konflik menahun itu
adalah status etnis minoritas Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di
Myanmar. Pemerintah Myanmar tak mengakui dan tak memberi status kewarganegaraan
kepada mereka. Sebagai akibat tiadanya kewarganegaraan, etnis Rohingya tak bisa
mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak.
Mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan.
Pemerintah
Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok
Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum
kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden
Myanmar, Thein Sein, dalam Al Jazeera, 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tak
mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap
imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh itu.
Akar
konflik yang lain adalah adanya kecemburuan terhadap etnis Rohingya. Populasi
etnis Muslim Rohingya dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat. Tentu saja,
hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine.
Bagi mereka, keberadaan etnis Rohingya pun sangat mungkin dianggap kerikil
dalam sepatu, yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya
dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan,
Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim ini.
Melihat sejarah diatas Sudah jelas
bahwa Rohingya merupakan komunitas migrant dari Bangladesh yang sudah ratusan
tahun tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Sebagai komunitas yang sudah
lama menetap di sebuah wilayah yang kebetulan kini menjadi bagian dari negara
Myanmar, tentu saja sudah selayaknya mereka mendapatkan hak-hak dasar mereka,
terutama status kewarganegaraan. Meskipun demikian, sikap pemerintah Myanmar
sudah jelas seperti yang disampaikan Thein Sein bahwa Myanmar tak mungkin
memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya. Namun, Myanmar menawarkan solusi
berupa pengiriman ribuan orang Rohingya
ke negara lain atau tetap tinggal di Arakan, tetapi berada di bawah pengawasan
PBB. Jadi, kelihatannya etnis Rohingya masih belum bisa bernapas lega sampai
beberapa tahun mendatang.
Kini etnis Rohingya
bukan saja tak diakui kewarganegaraanya yang mengakibatkan sulitnya mengakses
pendidikan, layanan kesehatan serta
sulitnya mendapat pekerjaan, namun jika menjadi pelarian (imigran) tak disukai
oleh sebagian Negara. Bantuan mengalir dari warga muslim yang bersimpati,
namun yang mereka rasakan tidak sampai kepada pengungsi Rohingya, mereka hanya
memanfaatkan untuk mendapat keuntungan secara pribadi
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!