Cerpen
: Yati Nurhayati
Aku berusaha berdiri diatas
serpihan hati yang telah hancur, kucoba untuk bertahan walaupun nyawa terasa
ditenggorokan, ya terasa ditenggorokan akupun tak bisa menariknya keluar, itulah
yang membuatku lebih tersiksa, hidup segan matipun tak mau. Langkahku
tertatih-tatih mengumpulkan kekuatan baru.
Tamparan-demi tamparan hinggap
dipipiku,sampai tubuhku tersungkur keujung ranjang, aku rasakan ada cairan
hangat yang mengalir dikeningku, darah
ya darah segar mengalir kepelipis. Aku mencoba untuk bertahan.
Jika bukan karena janin yang ada
dirahimku ini, aku sudah pergi dari rumah sejak dulu. “Maafkan bapakmu nak, ibu
harap kau tak dendam diperlakukan seperti ini oleh bapakmu.” Aku mengelus
perutku yang semakin hari semakin besar.
Aku terkenang masa awal-awal
perkenalanku dulu. Han begitu perhatian, tatapannya mampu menghilangkan galau
dihati. Pada saat itu aku tak berpikir ada pria sebaik itu mau mengulurkan
tangannya membawaku dari lorong kegelapan kedalam kehidupan yang cerah
terang-benderang.
Lorong yang kini aku lalui tidak
kalah gelap dengan lorong hitamku di masa
lalu, lorong maksiat, lorong yang penuh dengan dosa, hanya kenikmatan sesaat
yang aku rasakan.
Hingga aku bertemu dengan Han
disebuah kereta api dalam perjalanan pulang dari pekerjaanku. Entahlah aku tak tahu
apakah penari malam layak disebut pekerjaan. Di sebuah hotel bintang lima aku
menjadi penari eksotis yang gemulai, untuk memuaskan nafsu birahi para hidung
belang yang jelalatan, para bandit dan bos-bos dengan perut buncit. Pertama
memang aku risih menjadi penari dengan pakaian minim sekali dihadapan begitu
banyak mata memandang. Tapi kehidupan memaksaku untuk bekerja sebagai penari,
aku harus menghidupi keluarga, ayah yang kini sakit-sakitan dan ibu yang kian
hari Nampak lebih tua dari usianya serta kedua adik yang masih sekolah. Orang
tuaku hanya tahu kalau aku bekerja disebuah hotel, honorku setiap hari besar,
lebih dari cukup untuk aku dan keluarga.
Semenjak pertemuan dikereta itu
ada pertemuan kedua, ketiga, dan entah berapa kali aku bertemu dengannya
disengaja maupun secara kebetulan bertemu.
Sebenarnya aku berusaha untuk
menghindari pertemuan dengan Han, aku takut dia keccewa saat tahu pekerjaanku, namun
pertemuan demi pertemuan sulit sekali aku hindari. Hingga suatu hari Han
mengikutiku dari belakang dan akhirnya hal yang paling aku takuti terjadi juga.
Ya akhirnya Han tahu kalau aku seorang penari klub malam yang terkadang harus
melayani laki-laki hidung belang melampiaskan nafsu binatangnya.
Malam itu ditengah
hingar-bingarnya music klub malam lampu seperti biasa dipadamkan, dan tepat
ditengah malam lampu dinyalakan kembali semua mata memandangku dengan penuh
nafsu yang menggelora. Hanya ada sepasang mata yang menatapku penuh dengan
kekecewaan dan mata itu tak a sing lagi bagiku. Ia adalah Han seorang laki-laki
yang selama ini penuh perhatian terhadapku. Sepertinya hatikupun sama
mengharapkannya, hingga aku sakit sekali tatkala ia mengetahui siapa aku
sebenarnya. Ada perasaan takut yang menjalar. Ya takut kehilangannya.
Aku berlari kebelakang panggung,
menyelinap kekamar ganti. Penonton yang gaduh tak kupedulikan, begitu juga
bosku yang marah-marah dengan insidenku hari ini. Ku lihat Han berusaha
mengejarku, kuhentikan sebuah taxi, tak cukup lima menit aku sudah berada di
dalam sebuah taxi. Han terus mengejarku dengan mobil tuanya. Tak mungkin aku
main kejar-kejaran seperti ini terus, aku harus Tanya Han apa maksud ia
mengikutiku terus. Ya aku harus menanyakannya.
“Pak berhenti !” Aku langsung
membayar taxi. Mobil Han sudah ada dihadapanku, Han membukakan pintu. Aku pun
masuk.
“ Kenapa kau mencari ku ? apa
maksudmu selalu mengikutiku ?” “ tin aku ingin menikahi dengan mu.”
“ Aku hanya seorang penari. “ “
aku tidak peduli tin, yang penting kau mau meninggalkan pekerjaanmu itu.” Mata
Han menatapku dengan tatapan teduh, kubalas tatapannya. Mata kami saling beradu
pandang. “ sungguh kah ?” “ sungguh aku mencintai kamu Tin,” kupandang Han
seolah-olah tak mau lepas dari tatapannya. “ Mimpikah aku ?” “ tidak kau tidak
sedang bermimpi” bibir lembut Han menempel di bibirku. Aku tak kuasa menolak,
di mobil tua itu ada sebuah kenangan indah bersama Han. Janin ini buahnya.
Harapanku hidup bahagia dengan
Han pupus sudah, setelah menikah ia berubah drastis, tak ada tatapan matanya
yang indah, yang mampu meluluhkan wanita manapun. Yang ada sorot matanya yang
menakutkan. Sudah tak terhitung berapa tamparan yang hinggap dipipiku. Aku
mengira ia seorang psikopat, sakit jiwa. Setiap kali berhubungan intim dia
memulainya dengan kekerasan, hingga ia merasa puas tatkala melihatku tak
berdaya.
Apa yang aku lakukan dimatanya
selalu salah, tersenyum tidak tersenyum, bicara tidak bicara tidak ada bedanya
dihadapan Han. Diam itulah satu-satunya jalan agar aku tak selalu disalahkan.
Diam tak bergeming walau sakit kurasakan. Diam bungkam walau tubuh babak belur.
Kepada siapa aku harus mengadu semua ini ?
orang tua ? pemerintah ? aku tak
tahu harus kemana.
Batinku menjerit tatkala Han
meragukan anak yang ada dirahimku, “ aku bersumpah ini adalah anakmu Han, darah
daging mu!” aku berusaha meyakinkan ia, harapanku ia tak selalu menyiksaku jika
tahu kalau anak ini anaknya. Tapi yang kudapat hanya bantingan pintu. Setelah
itu aku tak tahu ia pergi kemana.
Semenjak peristiwa itu Han tak
pernah pulang kerumah. Aku paham kalau tugasnya sebagai militer mengharuskan ia
pindah dari kota-kekota, dikota inipun ia sedang bertugas hingga akhirnya
menikah denganku. Habis masa tugasnya iapun akan pindah kekota lain. Aku
sendiri tidak tahu bagaimana nasibku selanjutnya. ****
Galau kurasakan, kandunganku
semakin hari semakin besar, tapi tak ada kabar dari Han. Biasanya ia selalu
sempatkan nelpon atau SMS disela-sela tugasnya. Mungkin kali ini aku yang harus
SMS. Aku tak mau bertaruh nyawa, melahirkan anak ini tanpa suami disampingku.
Bagaimanapun ini adalah kelahiran anak pertamaku, aku merasa cemas dan takut.
“ Mas cepat pulang Ya !” send
08527158xxx. Suara ponselku berbunyi ternyata Han masih ingat buktinya ia
telpon balik pikirku. “Hallo, Mas “ “ Siapa Ini ya ?” aku kaget suara wanita di
seberang sana. “ Ibu siapa ?” aku balik bertanya. “ saya istrinya Pak Burhan.” Kumatikan ponselku cepat.
Seketika itu aku lemas antara sadar dan tak sadar, antara percaya dan tak
percaya, kalau selama ini Han yang kukenal telah beristri.
Ponselku bergetar lagi, diiringi
dengan bunyi rington yang dipilihkan Han. “ Ya Allah kuatkan hatiku !” aku
beranikan untuk menjawabnya “ Hallo, ibu bisa nggak kalau kita ketemuan ?”
kudengar suara wanita tadi di seberang sana, sepertinya wanita itu sudah
curiga, kalau aku ada hubungan dengan suaminya. “ dimana ?” “ Katakan saja
alamatnya saya akan kesana. “ ujar wanita itu.
Sesuai dengan kesepakatan
akhirnya akupun bersedia bertemu dengan wanita yang mengaku sebagai istrinya
Han. Walaupun aku ragu, ini adalah jalan terbaik. Aku harus bicara sebagai
sesama wanita, ia pun pasti akan mengerti. Kudengar dari gaya bicaranya istri Han
orangnya baik. ***
Dua puluh dua tahun aku lalui,
semenjak pertemuan dengan istri Han yang pertama aku tak pernah tahu kabar Han.
Saat itu istri Han memohon kepadaku untuk tidak mencari lagi Han, dia
menodongku dengan sejumlah uang asalkan aku pergi jauh dari kehidupannya. Demi
keutuhan rumah tangganya aku rela, walaupun sakit kurasakan. Wanita mana yang
rela untuk dimadu, begitu juga istrinya Han pikirku. Lebih baik aku yang
mengalah, karena biar bagaimana aku tak punya kekuatan hokum, aku dinikahi secara
siri, sedangkan dia nikah secara sah. Ini jalanku yang terbaik, aku ambil
uangnya, jumlahnya cukup lumayan untuk modal membesarkan anak ini.
Aku tak mungkin melupakan Han,
yang telah membawaku dari lorong gelap, yang telah memberiku malaikat kecil nan
lucu. Ialah malaikat kecil itu yang telah menguatkan aku hingga hari ini. Aku
tak mau lagi masuk kelorong gelap itu, aku ingin taubat, dan hidup normal
bersama malaikat kecilku. Aku dengar dari ustad yang ceramah di mesjid dekat
rumahku, kalau zinah itu membawa kesengsaraan yang berkepanjangan. Aku
mengalaminya. Aku merasakannya. Aku tak mau lagi terjerumus untuk kedua
kalinya.
Aku berusaha sekuat tenaga
memberi kehidupan yang baik untuk Han kecilku, dengan membuka usaha catering
aku bisa menyekolahkan Han kecil sampai ke perguruan tinggi. Han kecilku kini
telah menjadi laki-laki dewasa. Pengusaha muda yang sukses, tidak sia-sia
pengorbananku selama ini. Aku bangga sekali padanya, ia tumbuh sempurna walau tanpa ayah
disampingnya. Akulah ayah sekaligus ibu baginya.
Hari ini Han kecilku memperkenalkanku dengan calon istrinya, Sonya
gadis yang cantik, aku tatap dari ujung rambut hingga ujung kaki. Han memang
pandai memilih wanita. Dari tatapan keduanya mereka terlihat saling mencinta,
tapi entah kenapa semenjak kedatangannya
kesini perasaanku tidak enak.
Tiba-tiba badanku terasa lemas,
dan jantungku berdebar kencang, saat Sonya menyatakan kalau ayahnya bernama
Burhanudin. Jangan-jangan … kutepis semua prasangka.” Bisa kulihat foto
ayahmu?” “ tentu boleh tante!” sonya mengeluarkan dompet dan menyodorkan pas
photo ukuran 4 x 6 kepadaku. Kepalaku mendadak pusing bagaimana aku
menjelaskannya kepada Han kecil bahwa sebenarnya ia bersaudara sama Sonya. Aku
jatuh tak sadarkan diri.
Rancaekek, Oktober 2012