Kesempatan
tidak datang dua kali, itulah yang memberanikan saya untuk menyusuri sungai
Martapura ketika matahari sudah mulai membenamkan dirinya di ufuk Barat. Yap kesempatan
yang jarang dimiliki orang untuk jalan-jalan ke Banjarmasin. Saat ada
kesempatan untuk melihat kehidupan asli masyarakat Banjar yang sangat erat
dengan sungai.
Selain
wisata pasar terapung, Banjarmasin terkenal dengan wisata susur sungai. Susur sungai ini menggunakan kelotok. Kelotok merupakan sejenis perahu dengan mesin yang berkapasitas hingga
25 orang.
Untuk
menaiki kelotok saya dibantu oleh awak kapal, yap sebelum menuju kelotok kita harus menuruni tangga dan bebatuan yang
terjal (lebay) dengan kondisi saya yang menggunakan kruk memang agak sulit,
tapi bukan saya kalau tidak nekat dan ingin mencoba.
Agak
lama juga kami menunggu kelotoknya jalan. Berhubung saat itu bukan musim liburan jadi lumayan lama menunggu penumpang hingga penuh.
Alternative jika tak mau menunggu lama, kita harus sewa kelotoknya dengan harga
300 rb. Setelah nego harga sama awak kapal, kami memutuskan untuk menunggu
saja.
Awalnya males naik kelotok, sungai martapura
bukan sungai yang jernih dengan pemandangan yang indah, pemandangan pinggir
sungai martapura hanya rumah-rumah panggung pinggir sungai yang terlihat kumuh.
Apalagi saya takut naik perahu karena tidak bisa renang, ditambah dengan cerita awak kapal yang
mengatakan kalau di sungai ini masih ada buaya yang berkeliaran. Memang sih
kalau dipikir ini kan sungai, tidak menutup kemungkinan ada buaya. tapi sudah
terlanjur naik kelotok dan duduk di buritan, jadi susah jika harus merangkak
lagi keluar. Bismillah saja mudah-mudahan buaya tidak menampakan diri saat
kelotok kami lewat.
Di
atas kelotok rombongan kami berlima, ada Pak Haryanto, Mbak Lia, Mas Aaf, dan satu
orang guide yang saya lupa namanya, he…he…,
dan ada lagi sepasang muda-mudi yang sedang pacaran duduk berdua di bagian
atas.
Rute kelotok ini menyusuri sungai sepanjang
pasar Sudimampir sampai pasar lama, memerlukan waktu 20-30 menit. Tapi sebenarnya
rute bisa request sama awak kapalnya.
Sepanjang perjalanan kami melihat pemandangan lampu yang begitu indah. Melihat rumah-rumah
penduduk pinggir sungai, seperti yang diceritakan dalam novel Tere Liye yang
berjudul sepucuk angpau merah.
Di
sebelah kanan ada patung bekantan, mascot kota Banjar. Kita bisa mampir dulu
dan berfoto di sana. Tapi saat itu kami memang darurat, waktu sudah mau magrib.
Jadi kami memutuskan untuk tidak mampir.
Dengan
uang 5 ribu rupiah kita sudah menikmati wisata susur sungai. Dan apa yang kita
dapatkan pasti lebih dari senilai uang yang kita keluarkan.
Kami
bergegas turun dari kelotok, karena hari mulai gelap, terdengar suara komat
dimasjid sudah berkumandang. Sisi lain masyarakat Banjar yang religious, kami
kesulitan mencari masjid, bukan tidka ada masjid. Tapi masjid saat sholat itu
penuh hingga ke halaman. Dan parkirannya olala… memenuhi separuh jalan. Pemandangan
yang wow luar biasa. Karena pemandangan seperti itu kalau ditempat saya di
Jakarta, bekasi, bahkan Bandung itu hanya ketika hari raya atau sholat jumat. Dan
kata supir yang mengantar kami, memang masyarakat di sini sangat religious. Akhirnya
kami memutar arah menuju masjid yang agak jauh, tibalah saya di masjid yang
agak lowong, bukan berarti sepi tapi karena masjid ini sudah selesai sholatnya.
Sebagian sudah keluar dan sebagian lagi masih duduk bersila menunggu waktu
isya.
Itulah
sepotong cerita saya ketika pergi ke Banjarmasin untuk kedua kalinya, baca juga
kunjungan saya yang pertama di sini.
Asyik naik kelotok, saya belum pernah hihihi.
BalasHapus