Aku kembali bekerja setelah tujuh
tahun hanya diam di rumah menjadi ibu rumah tangga dan freelancer. Memang agak canggung ketika harus bangun pagi
dan siap-siap pergi ke kantor. Mungkin karena kelamaan berada di zona nyaman xixixi…
Keputusan
kembali bekerja
Semua memang sudah digariskan yang
kuasa. Tak ada suatu peristiwa yang
luput dari genggaman Nya. Rencana kembali bekerja di luar rumah memang sudah
sejak kelahiran anak kedua, Andi Citra. Saat itu saya dan suami mengalami
kebangkrutan, modal usaha yang kami peroleh dari penjualan rumah warisan habis.
Karena mungkin tidak sesuai antara pendapatan dan pengeluaran dan kurangnya ilmu dalam berwirausaha akhirnya
modal ludes hingga tak memiliki uang sama sekali.
Kami pun memutar otak, bagaimana
agar kehidupan rumah tangga kami tetap berjalan dan baik-baik saja.
Rencana-renacana mulai dijalankan. Dan saya memutuskan untuk mencari pekerjaan, suami
tetap wirausaha di rumah. Ko kebalik, biasanya istri yang wirausaha di rumah.
Ini pun bukan tanpa alasan, ijazah dan
keterampilan saya lebih memungkinkan mendapat pekerjaan yang lebih baik dan
diharapkan mendapat gaji yang lebih baik juga.
Disamping itu mobilitas suami yang menggunakan kaki palsu memang agak
susah untuk kesana-kemari.
Hidup memang pilihan, ketika saya
memilih suami sebagai imam saya, saya putuskan untuk membantu dalam hal
perekonomian. Karena kami berdua disabilitas. Kami harus saling menopang, dan
kami keduanya berangkat dari nol. Mau saya atau suami yang lebih unggul, itu
tidak masalah. Yang penting kami berkomtmen untuk selalu menjaga keseimbangan
dan kewarasan demi keluarga tetap utuh.
Jangan dianggap
mudah mencari pekerjaan bagi penyandang disabilitas seperti saya, tapi bukan
saya kalau menyerah. Selain saya
menyebar CV melalui email yang saya dapat dari lowongan pekerjaan di Koran,
saya pun dor to door ke perusahaan sekitar rumah. Kebetulan rumah berada di kawasan industri. Tak
hanya itu Saya pun datangi orang-orang yang biasa memasukkan orang ke pabrik.
Ada suatu pengalaman yang tak mungkin saya lupa, yaitu
ketika harus mengikuti tes di Jakarta. Saya membaca lowongan menjadi pekerja
paruh waktu dan bisa dikerjakan di rumah. Melihat jobdesknya saya bisa melakukan
pekerjaan itu. Akhirnya saya minta izin sama orang tua untuk pergi ke Jakarta
sekalian mau nitip anak-anak. Anak pertama saat itu usia
3 Tahun dan yang kedua baru usia sekitar 4 bulan. Karena kesibukan orang
tua juga tak mungkin menitipkan keduanya, anak saya yang pertama memang sangat
aktif. Akhirnya saya dan suami memutuskan membawa Andi Nazar (Anjas) ke Jakarta.
Saya juga lupa kapan terakhir ke Jakarta, mungkin saat
saya SMA beberapa tahun lalu. Jakarta
sudah banyak berubah. Kebayang kan
ndesonya saya, bertiga dengan suami dan anak saya mengitari kota Jakarta hanya untuk
mengikuti tes, naik busway hingga mual karena belum paham, transit sana transit
sini, tanya sana tanya sini. Itu sungguh pengalaman yang tak mungkin saya
lupakan.
Jangan ditanya lulus atau tidak, yang jelas dari
pengalaman saya ke Jakarta itu saya males lagi datang ke sana, karena bagi saya
Jakarta bukan kota yang bagus bagi disabilitas seperti saya. Saya pun
memutuskan tidak mengambil pekerjaan itu. Walau pun paruh waktu, tapi pasti
kalau saya ambil pekerjaan ini saya akan sering pulang pergi Jakarta Bandung.
Saya memang tidak pernah putus asa, setelah mengalami
banyak penolakan saya putuskan untuk kembali menulis. Dulu freelancer tidak
seperti sekarang. Saya juga masih katro. Saya mulai menulis untuk media. Atas
izin Allah tulisanku dimuat, lalu itu menjadi ketagihan yang positif. Saya bisa
membantu suami dari menulis. Dan di samping itu saya jualan online yang
hasilnya juga lumayan.
Suka
duka saat Menjadi freelancer dan penulis buku sudah saya tulis di tulisan
terdahulu. Dilalah saat karir menulis
sedang meningkat, ada lowongan CPNS formasi khusus disabilitas. Coba-coba saya
ikut, padahal saat itu saya tidak berharap lolos, ya namanya untung-untungan.
Saya juga tidak yakin bisa menjawab soal-soal yang diujiankan. Maklumlah lulus
kuliah sudah 9 tahun yang lalu.
Saat itu tes CAT di BKN Jakarta
Timur. Dengan dorongan dari keluarga tercinta, says pergi sendiri untuk
mengikuti tes CPNS. Karena tiba di lokasi harus pagi-pagi, saya mencari tempat
menginap di rumah salah satu teman lama. Untungnya saya masih ingat rumahnya,
jadi tidak terlalu sulit mencarinya.
Teman saya ini adalah tetangga
ketika saya kecil di Jakarta. Mereka merasa surprise saya tiba-tiba datang
setelah lebih dua puluh tahun tidak bertemu. Saat saya pindah ke Bandung saya
baru kelas 2 SD. Dan kami kehilangan kontak setelah itu.
Sudah banyak yang berubah, tak
kecuali lapangan dan pohon rambutan depan rumah temanku sudah menjadi bangunan
rumah-rumah penduduk. Jadi saya harus keliling untuk menemukan rumahnya.
Untungnya bapaknya temanku adalah juragan kontrakan di sana, semua orang tak ada
yang tidak kenal dengan beliau.
Saya lulus tes CPNS dan bisa
mengikuti tes selanjutnya. Ini suatu hal yang sangat tidak terduga, persiapan
saya untuk tes hanya mengandalkan keberuntungan, tak ada latihan soal-soal, tak
ada persiapan belajar hingga larut malam. Karena badan rasanya sudah lelah
menempuh seharian perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang macet, pas kebetulan
saya tidak mendapat tempat duduk di bis, saya berdiri dan sesekali kalau pegal
saya duduk di bawah.
Mendengar berita lulus, saya
bukannya gembira, malahan galau. Antara diteruskan atau berhenti di sini. Saya sudah nyaman sebagai freelancer bisa
kerja dari rumah sambil jaga anak-anak. Jika saya teruskan proses seleksi, saya juga harus siap ditempatkan
di mana saja. Saya harus siap jauh dari anak-anak dan suami. Melihat kegalauan
saya saat itu, justru orang tua yang saat itu masih satu atap sama saya
mendukung sekali. “Kesempatan tidak mungkin datang dua kali, banyak orang yang
ingin Menjadi PNS, ini adalah jawaban atas doa-doa mu selama ini. Bukankah kamu
selalu mencari pekerjaan dan selalu ditolak, inilah rencana Allah selalu lebih
indah.” Seperti itu kira-kira semua keluarga menyemangati.
“Buktikan De bahwa kamu bisa,
buktikan sama orang-orang yang pernah merendahkan dan menghinamu, Allah sudah
mengangkat derajatmu dengan terpilih Menjadi PNS.” Kata-kata yang keluar dari
my love suami tercinta. Saya memang harus menerima pilihan hidup ini, saya
jangan egois memikirkan diri sendiri, lihatlah orang-orang di sekitar sangat
berharap kamu bisa sukses. Dan saya berpikir masih bisa menjalankan hobi
menulis setelah Menjadi PNS itu pasti menyenangkan.
Akhirnya bismillah aku lengkapi
berkas-berkas, melegalisir ijazah dari mulai SD hingga Perguruan Tinggi, tes kesehatan lengkap dengan tes kejiwaan.
Semua dilancarkan dan diberi kemudahan, mungkin ini memang sudah digariskan Allah, hampir tidak ada kesulitan
mengurus berkas-berkas semua.
Saya lolos tes CPNS saat usia sudah
mentok, usia batas akhir penerimaan yaitu 35 tahun. Teman-teman saya yang kerja
di pabrik sudah banyak yang resign dan memilih mengurus anak. Justru
kebalikannya saya baru mau mulai kerja. Tenaga dan semangat juga tidak seperti
waktu muda. Rasanya saya ingin mundur saja, apalagi membayangkan anak-anak.
Pasti akan sulit meninggalkan mereka, karena selama ini hampir tidak pernah
berpisah 24 jam.
Inilah ujian terberat dalam hidup
saya, ketika harus berjauhan dengan Citra dan Anjas. Saya penempatan kerja di
Jakarta dan anak-anak di Bandung. Usia Anjas saat itu 6,5 tahun dan Citra 4
tahun. Selama satu bulan saya merasakan
bagaimana jauh dari anak. Dan saya tidak kuat, akhirnya saya bawa anak-anak ke
Jakarta.
Karena kantor terletak di Jakarta
Pusat, sangat sulit saya mencari kontrakan yang terjangkau. Saya dapat
kontrakan jauh dari kota Jakarta, yaitu di Bekasi. Awalnya berpikir di Bekasi,
karena banyak teman kantor juga sama-sama tinggal di Bekasi. Toh mereka bisa
pulang pergi Jakarta-Bekasi selama bertahun-tahun. Dan ini pun demi bisa pulang
kerja berkumpul dengan anak. Memang perlu perjuangan bagi saya seorang
disabilitas, tapi sekali lagi memang hidup adalah pilihan.
Berangkat kerja ketika waktu masih
gelap, dan pulang ketika matarahari
sudah terbenam. Tapi lumayan dari pada saya ketemu anak seminggu sekali. Saya masih
bisa membantunya mengerjakan PR dan bermain-main sebelum tidur. Itu pun kalau
tidak lelah, kalau badan sudah lelah di perjalanan paling tidak
saya mendengar celotehnya yang bisa membuat hidup ini seimbang.
Hari-hari saya jalani tanpa
mengeluh, betapa rasanya malu jika masih mengeluh. Cape memang cape kerja dari
pagi hingga sore, namun saya selalu berpikir lebih cape yang mencari kerja.
Allah sudah memberi banyak kenikmatan hidup, sepatutnya kita banyak bersyukur,
karena dengan bersyukur hidup terasa lebih ringan.
Saya memang tidak merasakan
bagaimana meninggalkan anak yang masih bayi pergi kekantor, tidak merasakan
rengekan anak untuk tidak pergi kerja, karena anak-anak sudah besar saat saya
berkarir kembali. Semua ada hikmahnya, salah satunya saya bisa mengasuh dan
menyusui anak-anak hingga usianya 2 tahun.
Dan saya sangat bersyukur karena memiliki kesempatan itu.
Yang sangat saya suka dan
bersemangat kerja di kantor saat ini adalah:
1. Pekerjaannya
memang yang saya sukai.
2. Lingkungan
pekerjaan dan orang-orang teman sekantor
saya yang begitu support dengan keadaan saya.
3. Memiliki
kantor yang bagus.
4. Kesejahteraan
yang terjamin.
Setelah saya jalani hari-hari sebagai ASN, barulah saya ingat kalau saya
pernah berdoa dalam hati, kira-kira 7
tahun yang lalu, saat itu saya lewat tepat di depan kantor dimana saya bekerja
sekarang. Saya berucap “Seandainya saya bisa kerja di kantor ini? Di
Kementerian Sosial. Ah tapi itu hanya hayalan saya saja.” Saya pun tidak pernah
mengingat-ngingat lagi. Mungkin kalau kata orang tua dulu, ada malaikat lewat.
Jadi ditulis apa yang kita ucapkan. Wallohu alam.
Rutinitas saya
kerja dengan jarak antara rumah dan kantor berjauhan, saya
hampir tak pernah punya waktu untuk sendiri. Saya juga di rumah selalu
disibukkan dengan urusan domestik dan urusan anak-anak. Tapi semua itu ada
waktunya, anak-anak akan tumbuh dewasa, dan saya pasti bisa menekuni dunia tulis
menulis kembali.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!