Memberi dan Menginspirasi

Sabtu, 16 April 2022

Pengalaman Ibu Penyandang Disabilitas sebagai ASN


      

      Aku kembali bekerja setelah tujuh tahun hanya diam di rumah menjadi ibu rumah  tangga dan freelancer.  Memang agak canggung ketika harus bangun pagi dan siap-siap pergi ke kantor. Mungkin karena kelamaan berada di zona nyaman xixixi…

Keputusan kembali bekerja

            Semua memang sudah digariskan yang kuasa.  Tak ada suatu peristiwa yang luput dari genggaman Nya. Rencana kembali bekerja di luar rumah memang sudah sejak kelahiran anak kedua, Andi Citra. Saat itu saya dan suami mengalami kebangkrutan, modal usaha yang kami peroleh dari penjualan rumah warisan habis. Karena mungkin tidak sesuai antara pendapatan dan pengeluaran dan  kurangnya ilmu dalam berwirausaha akhirnya modal ludes hingga tak memiliki uang sama sekali.

            Kami pun memutar otak, bagaimana agar kehidupan rumah tangga kami tetap berjalan dan baik-baik saja. Rencana-renacana  mulai dijalankan.  Dan saya memutuskan untuk mencari pekerjaan, suami tetap wirausaha di rumah. Ko kebalik, biasanya istri yang wirausaha di rumah. Ini pun bukan tanpa alasan,  ijazah dan keterampilan saya lebih memungkinkan mendapat pekerjaan yang lebih baik dan diharapkan mendapat gaji yang lebih baik juga.  Disamping itu mobilitas suami yang menggunakan kaki palsu memang agak susah untuk kesana-kemari.

            Hidup memang pilihan, ketika saya memilih suami sebagai imam saya, saya putuskan untuk membantu dalam hal perekonomian. Karena kami berdua disabilitas. Kami harus saling menopang, dan kami keduanya berangkat dari nol. Mau saya atau suami yang lebih unggul, itu tidak masalah. Yang penting kami berkomtmen untuk selalu menjaga keseimbangan dan kewarasan demi keluarga tetap utuh.

 Jangan dianggap mudah mencari pekerjaan bagi penyandang disabilitas seperti saya, tapi bukan saya kalau menyerah.  Selain saya menyebar CV melalui email yang saya dapat dari lowongan pekerjaan di Koran, saya pun dor to door ke perusahaan sekitar rumah.  Kebetulan rumah berada di kawasan industri. Tak hanya itu Saya pun datangi orang-orang yang biasa memasukkan orang ke pabrik.

Ada suatu pengalaman yang tak mungkin saya lupa, yaitu ketika harus mengikuti tes di Jakarta. Saya membaca lowongan menjadi pekerja paruh waktu dan bisa dikerjakan di rumah. Melihat jobdesknya saya bisa melakukan pekerjaan itu. Akhirnya saya minta izin sama orang tua untuk pergi ke Jakarta sekalian mau nitip anak-anak. Anak pertama  saat itu usia  3 Tahun dan yang kedua baru usia sekitar 4 bulan. Karena kesibukan orang tua juga tak mungkin menitipkan keduanya, anak saya yang pertama memang sangat aktif. Akhirnya saya dan suami memutuskan membawa  Andi Nazar (Anjas) ke Jakarta.

Saya juga lupa kapan terakhir ke Jakarta, mungkin saat saya SMA  beberapa tahun lalu. Jakarta sudah banyak berubah.  Kebayang kan ndesonya saya, bertiga dengan suami dan anak saya mengitari kota Jakarta hanya untuk mengikuti tes, naik busway hingga mual karena belum paham, transit sana transit sini, tanya sana tanya sini. Itu sungguh pengalaman yang tak mungkin saya lupakan.

Jangan ditanya lulus atau tidak, yang jelas dari pengalaman saya ke Jakarta itu saya males lagi datang ke sana, karena bagi saya Jakarta bukan kota yang bagus bagi disabilitas seperti saya. Saya pun memutuskan tidak mengambil pekerjaan itu. Walau pun paruh waktu, tapi pasti kalau saya ambil pekerjaan ini saya akan sering pulang pergi Jakarta Bandung.

Saya memang tidak pernah putus asa, setelah mengalami banyak penolakan saya putuskan untuk kembali menulis. Dulu freelancer tidak seperti sekarang. Saya juga masih katro. Saya mulai menulis untuk media. Atas izin Allah tulisanku dimuat, lalu itu menjadi ketagihan yang positif. Saya bisa membantu suami dari menulis. Dan di samping itu saya jualan online yang hasilnya juga lumayan. 

            Suka duka saat Menjadi freelancer dan penulis buku sudah saya tulis di tulisan terdahulu.  Dilalah saat karir menulis sedang meningkat, ada lowongan CPNS formasi khusus disabilitas. Coba-coba saya ikut, padahal saat itu saya tidak berharap lolos, ya namanya untung-untungan. Saya juga tidak yakin bisa menjawab soal-soal yang diujiankan. Maklumlah lulus kuliah sudah 9 tahun yang lalu.

            Saat itu tes CAT di BKN Jakarta Timur. Dengan dorongan dari keluarga tercinta, says pergi sendiri untuk mengikuti tes CPNS.  Karena tiba  di lokasi harus pagi-pagi, saya mencari tempat menginap di rumah salah satu teman lama. Untungnya saya masih ingat rumahnya, jadi tidak terlalu sulit mencarinya.

            Teman saya ini adalah tetangga ketika saya kecil di Jakarta. Mereka merasa surprise saya tiba-tiba datang setelah lebih dua puluh tahun tidak bertemu. Saat saya pindah ke Bandung saya baru kelas 2 SD. Dan kami kehilangan kontak setelah itu.

            Sudah banyak yang berubah, tak kecuali lapangan dan pohon rambutan depan rumah temanku sudah menjadi bangunan rumah-rumah penduduk. Jadi saya harus keliling untuk menemukan rumahnya. Untungnya bapaknya temanku adalah  juragan kontrakan di sana, semua orang tak ada yang tidak kenal dengan beliau.  

            Saya lulus tes CPNS dan bisa mengikuti tes selanjutnya. Ini suatu hal yang sangat tidak terduga, persiapan saya untuk tes hanya mengandalkan keberuntungan, tak ada latihan soal-soal, tak ada persiapan belajar hingga larut malam. Karena badan rasanya sudah lelah menempuh seharian perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang macet, pas kebetulan saya tidak mendapat tempat duduk di bis, saya berdiri dan sesekali kalau pegal saya duduk di bawah.

            Mendengar berita lulus, saya bukannya gembira, malahan galau. Antara diteruskan atau berhenti di sini.  Saya sudah nyaman sebagai freelancer bisa kerja dari rumah sambil jaga anak-anak. Jika saya teruskan  proses seleksi, saya juga harus siap ditempatkan di mana saja. Saya harus siap jauh dari anak-anak dan suami. Melihat kegalauan saya saat itu, justru orang tua yang saat itu masih satu atap sama saya mendukung sekali. “Kesempatan tidak mungkin datang dua kali, banyak orang yang ingin Menjadi PNS, ini adalah jawaban atas doa-doa mu selama ini. Bukankah kamu selalu mencari pekerjaan dan selalu ditolak, inilah rencana Allah selalu lebih indah.” Seperti itu kira-kira semua keluarga menyemangati.

            “Buktikan De bahwa kamu bisa, buktikan sama orang-orang yang pernah merendahkan dan menghinamu, Allah sudah mengangkat derajatmu dengan terpilih Menjadi PNS.” Kata-kata yang keluar dari my love suami tercinta. Saya memang harus menerima pilihan hidup ini, saya jangan egois memikirkan diri sendiri, lihatlah orang-orang di sekitar sangat berharap kamu bisa sukses. Dan saya berpikir masih bisa menjalankan hobi menulis setelah Menjadi PNS itu pasti menyenangkan.

 

 

            Akhirnya bismillah aku lengkapi berkas-berkas, melegalisir ijazah dari mulai SD hingga Perguruan Tinggi,  tes kesehatan lengkap dengan tes kejiwaan. Semua dilancarkan dan diberi kemudahan, mungkin ini memang sudah  digariskan Allah, hampir tidak ada kesulitan mengurus berkas-berkas semua.

            Saya lolos tes CPNS saat usia sudah mentok, usia batas akhir penerimaan yaitu 35 tahun. Teman-teman saya yang kerja di pabrik sudah banyak yang resign dan memilih mengurus anak. Justru kebalikannya saya baru mau mulai kerja. Tenaga dan semangat juga tidak seperti waktu muda. Rasanya saya ingin mundur saja, apalagi membayangkan anak-anak. Pasti akan sulit meninggalkan mereka, karena selama ini hampir tidak pernah berpisah 24 jam.

            Inilah ujian terberat dalam hidup saya, ketika harus berjauhan dengan Citra dan Anjas. Saya penempatan kerja di Jakarta dan anak-anak di Bandung. Usia Anjas saat itu 6,5 tahun dan Citra 4 tahun.  Selama satu bulan saya merasakan bagaimana jauh dari anak. Dan saya tidak kuat, akhirnya saya bawa anak-anak ke Jakarta.

            Karena kantor terletak di Jakarta Pusat, sangat sulit saya mencari kontrakan yang terjangkau. Saya dapat kontrakan jauh dari kota Jakarta, yaitu di Bekasi. Awalnya berpikir di Bekasi, karena banyak teman kantor juga sama-sama tinggal di Bekasi. Toh mereka bisa pulang pergi Jakarta-Bekasi selama bertahun-tahun. Dan ini pun demi bisa pulang kerja berkumpul dengan anak. Memang perlu perjuangan bagi saya seorang disabilitas, tapi sekali lagi memang hidup adalah  pilihan.

            Berangkat kerja ketika waktu masih gelap, dan pulang ketika  matarahari sudah terbenam. Tapi lumayan dari pada saya ketemu anak seminggu sekali. Saya masih bisa membantunya mengerjakan PR dan bermain-main sebelum tidur. Itu pun kalau tidak lelah, kalau badan sudah lelah di perjalanan  paling tidak  saya mendengar celotehnya yang bisa membuat hidup ini seimbang.

            Hari-hari saya jalani tanpa mengeluh, betapa rasanya malu jika masih mengeluh. Cape memang cape kerja dari pagi hingga sore, namun saya selalu berpikir lebih cape yang mencari kerja. Allah sudah memberi banyak kenikmatan hidup, sepatutnya kita banyak bersyukur, karena dengan bersyukur hidup terasa lebih ringan.

            Saya memang tidak merasakan bagaimana meninggalkan anak yang masih bayi pergi kekantor, tidak merasakan rengekan anak untuk tidak pergi kerja, karena anak-anak sudah besar saat saya berkarir kembali. Semua ada hikmahnya, salah satunya saya bisa mengasuh dan menyusui anak-anak hingga usianya 2 tahun.  Dan saya sangat bersyukur karena memiliki kesempatan itu.

            Yang sangat saya suka dan bersemangat kerja di kantor saat ini adalah:

1.     Pekerjaannya memang yang saya sukai.

2.     Lingkungan pekerjaan dan orang-orang  teman sekantor saya yang begitu support dengan keadaan saya.

3.     Memiliki kantor yang bagus.

4.     Kesejahteraan yang terjamin.

Setelah saya jalani hari-hari  sebagai ASN, barulah saya ingat kalau saya pernah berdoa dalam hati, kira-kira  7 tahun yang lalu, saat itu saya lewat tepat di depan kantor dimana saya bekerja sekarang. Saya berucap “Seandainya saya bisa kerja di kantor ini? Di Kementerian Sosial. Ah tapi itu hanya hayalan saya saja.” Saya pun tidak pernah mengingat-ngingat lagi. Mungkin kalau kata orang tua dulu, ada malaikat lewat. Jadi ditulis apa yang kita ucapkan. Wallohu alam.

Rutinitas  saya kerja  dengan  jarak antara rumah dan kantor berjauhan, saya hampir tak pernah punya waktu untuk sendiri. Saya juga di rumah selalu disibukkan dengan urusan domestik dan urusan anak-anak. Tapi semua itu ada waktunya, anak-anak akan tumbuh dewasa, dan saya pasti bisa menekuni dunia tulis menulis kembali.  

Hidup harus dijalani dengan senyuman. Insya Allah akan terasa ringan, salam untuk orang yang di samping Anda. 
0

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!