Kepikiran
omongan temen yang memanasi untuk kembali menulis, jadinya saya membaongkar
file lama. “Ayo dong mba Yati nulis buku inspiratif kayak mba Evy,” Aku hanya
mbatin dan kubalas hanya dengan senyuman. Emang udah lama juga ngga nulis, ngga
kirim ke media. Tapi aku pernah menulis kisah inspiratif, saat itu penerbit Indiva Media Kreasi membuka
lowongan menulis naskah inspiratif untuk ibu rumah tangga yang bekerja. Aku coba
kirim, dan tulisanku terpilih diantara puluhan naskah yang masuk. Ini adalah
buku antologi dari 15 penulis kalo ngga salah. Ada juga penulis yang udah punya
nama. Aku bangga bisa kepilih dan satu buku sama penulis ternama. Dan tulisanku
ada di paling belakang di bab terakhir. Tapi itu tak mengapa. Mungkin tulisannya emang paling
berantakan diantara peserta he..he...
Oh ya ini tulisan terbit sebelum saya jadi CPNS ya, mungkin kalo versi sekarang akan berubah apa yang akan ditulis ha...ha...
Ketika
saya googling di shope ternyata buku ini masih ada, kalo yang berminat membeli
versi cetak boleh cari aja ya di shope.
Saya
coba posting kembali versi lengkapnya, karena dulu pernah di posting tapi masih
bersambung karena kepanjangan. Eh ternyata ada lho seorang pembaca yang terinspirasi tulisan saya. “Teh saya
terinspirasi tulisan Teteh, mau juga jualan online, dan saya juga lagi belajar
nulis.”
Harapan
saya dengan di postingnya di blog tulisan ini, bisa lebih menginspirasi banyak
orang.
Mencari uang memang
bukan kewajiban seorang istri, tapi seorang istri diperbolehkan untuk membantu
keuangan keluarga jika memang diperlukan. Idealnya suami yang mencari nafkah
dan istri mengurus rumah serta anak-anak. Secara pekerjaan rumah tidak ada
habisnya, tentu ada yang terambil haknya jika ibu harus membagi waktu dengan
kerja diluar rumah.
Masalah ibu bekerja
vs full mom menjadi topik yang tidak ada habisnya dibicarakan orang. Terlebih
saat ini Ini dimana seorang wanita memiliki kedudukan yang sama dalam
memperoleh pendidikan dan pekerjaan. Seorang ibu yang memiliki pendidikan
tinggi pasti merasa sayang jika ilmunya tidak bermanfaat. Terkadang bukan
karena kekuarangan materi mereka bekerja, toh suaminya bisa memberi nafkah
lebih dari cukup. Tapi kebanyakan
masalah aktualisasi diri. Orang tua yang sudah menghabiskan banyak uang untuk
menyekolahkan anak perempuannya, cenderung mendukung anaknya untuk kerja diluar
rumah, mereka rela menjaga cucu-cucunya selama anaknya bekerja.
Menjadi ibu rumah
tangga atau wanita karier adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti ada
konsekuensi yang harus diterima. Seorang ibu yang terpaksa harus kerja kantoran
seringkali merasa iri jika melihat ibu rumah tangga yang bisa menemani tidur
siang anaknya, bisa mengantar jemput anaknya setiap hari. Dan sebaliknya, ibu
rumah tanggapun terkadang merasa iri jika melihat wanita karier yang bisa
memiliki penghasilan sendiri, sehingga mereka tidak bergantung pada penghasilan
suami.
Tapi di zaman
sekarang ini ibu rumah tangga tidak seperti dulu yang hanya dirumah mengurus anak, rumah dan suami. Ibu-ibu sekarang walaupun
statusnya ibu rumah tangga bisa berkarier dirumah, ataupun aktif di komunitas social yang sesuai
dengan minatnya. Dengan begitu ibu masih bisa menjalankan peran sebagai ibu
rumah tangga dan tetap bisa memiliki penghasilan sendiri.
ini adalah pengalaman ku sendiri sebagai ibu rumah
tangga untuk membantu mencari uang. Aku dari awal menikah memang sudah
berkomitmen untuk membantu meringankan beban suami, dengan membantunya mencari
uang.
Suamiku penyandang
disabilitas, ia mengalami kecelakaan
lalu lintas ketika masih duduk di bangku SMA. Kecelakaan ini mengakibatkan ia
harus rela kehilangan kaki kanannya. Dan sejak saat itu suami menggunakan kaki
palsu untuk menopang segala aktifitasnya. Sebagai penyandang disabilitas tentu
memiliki banyak keterbatasan, terutama dalam mencari pekerjaan. Akhirnya ia berusaha mandiri dengan mencoba
berbagai usaha. Sudah bermacam-macam
usaha ia jalani, mulai dari jadi loper Koran, jualan rokok dan minuman
dipinggir jalan, jualan es, jualan pulsa, buka usaha sablon dan lain-lain. Dan namanya usaha, tidak selamanya berjalan
mulus. Terutama jika tersandung dengan modal. Untung tidak seberapa,
kebutuhan banyak. Itulah alasanku untuk
ikut membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Walaupun aku tidak
sempurna, Yap aku juga seorang penyandang disabilitas, kekurangan ku juga
dikaki, kaki kanan jinjit. Aku selalu berusaha menjadi seorang istri dan ibu
yang sempurna di depan suami dan anak-anak. Aku ingin walaupun aku bekerja, tapi urusan
rumah tangga dan mendidik anak tetap jadi prioritas.
Sebelum menikah aku
pernah bekerja di sebuah perusahaan,
namun ketika anak pertama lahir, aku putuskan untuk resign, karena pertimbangan anak tak ada yang
jaga. Apalagi saat itu banyak sekali pemberitaan di televise mengenai
penculikan anak oleh ART atau baby sitter, dan berita penganiayaan anak oleh pengasuhnya.
Dua tahun aku
menjadi ibu rumah tangga full. Lalu
lahirlah anak kedua. Kondisi keuangan keluarga semakin memburuk, suamiku belum
ada peningkatan usahanya, sedangkan tanggungan bertambah satu. Aku memeras otak
bagaimana caranya agar bisa meningkatkan pendapatan. Walaupun dengan berat
hati, aku putuskan untuk kembali mencari pekerjaan. Pada saat itu anak pertama
berumur 3 tahun kurang, dan anak kedua
baru usia 2 bulan.
Yang menjadi
dilemma, kalau aku kerja anak-anak masih kecil siapa yang akan menjaga dan
mengurusnya. Kalau tidak kerja, penghasilan dari suami hanya cukup untuk makan sehari-hari, untuk keperluan bayar
kontrakan dan lain-lain aku harus memutar otak.
Ditengah-tengah
dilemma tersebut, aku terus berdoa agar mendapat pekerjaan yang diridhoi Allah
dan tetap bisa mengurus anak-anak. Mulailah aku membeli Koran untuk melihat
lowongan pekerjaan. Entah berapa CV yang
sudah aku kirimkan baik lewat pos, email bahkan datang langsung ke perusahaan.
Setiap ada panggilan wawancara, aku titipkan anak-anak sama ibu, saat itu jarak
kontrakanku dan rumah ibu lumayan jauh. Sedikit ribet memang. Karena
keterbatasanku aku juga sulit membawa bayi keluar rumah. Walaupun takut jatuh,
aku beranikan dibonceng naik motor sama
suami dengan menggendong bayi.
Iklan lowongan
pekerjaan tidak semuanya benar, ada juga
yang penipuan. Itu beberapa kali pengalamanku mendatangi perusahaan fiktif. Aku
bela-belain ninggalin anak, beli susu formula, eh penipuan, dalam iklan lowongan untuk
administrasi, kita datangi kesana ternyata sales yang keliling-keliling. Tentu
karena keterbatasan fisik aku tak bisa kerja yang memerlukan kaki, seperti
keliling jalan-jalan.
Dari sekian banyak
surat lamaran, tak ada satupun pekerjaan untuk penyandang disabilitas, padahal
ijazahku sarjana. Ada sebuah perusahaan yang sangat peduli pada penyandang
disabilitas. Bahkan perusahaan tersebut sudah merekrut para disable lebih dari
50 orang untuk bekerja diperusahaannya. Aku mencoba datang langsung ke bagian
HRD, aku diterima dengan baik. Setelah wawancara, pihak perusahaan belum bisa
menerima karena yang dibutuhkan untuk operator mesin jahit, sedangkan untuk
bagian kantor dan administrasi memerlukan mobile yang tinggi, karena setiap hari harus keliling dari satu gedung
ke gedung yang lain, perusahaan ini sangat luas. Aku tak punya keahlian jahit,
juga tak bisa terlalu jalan, kaki ku sakit kalau terlalu banyak jalan. Tapi aku tak menyerah begitu saja. Aku sudah
bertekad untuk membantu suami, aku tak boleh menyerah. Ketika aku memilih
menikah dengannya, aku sudah tahu konsekuensi apa yang harus aku terima. Aku tahu ini adalah jalan hidup yang aku pilih. Aku
ingin buktikan bahwa pernikahanku berkah, yaitu salah satunya dengan
meningkatnya kesejateraan keluarga kami.
Bukan saja
perusahaan swasta yang aku datangi, aku juga ikut dalam seleksi CPNS. Kalau
tidak salah 3 kali aku ikut seleksi CPNS. Tapi nasib belum berpihak. Lalu aku
mencoba melamar jadi honorer di beberapa instansi. Tak ada satupun surat lamaran yang diterima,
sulit memang mencari pekerjaan, apalagi bagi penyandang disabilitas.
Sambil terus berdoa,
aku mencari peluang-peluang diinternet. Terutama peluang bisnis yang bisa aku jalankan dirumah. Banyak peluang,
iklan-iklan begitu menggiurkan. Tapi jika tidak pandai memilah iklan mana yang
benar dan iklan abal-abal. Karena berapa
kali aku merasa tertipu, itulah sepenggal pengalamanku ketika aku harus
berjuang mencari pekerjaan.
Suamiku menjual
sebidang tanah di kampungnya untuk modal usaha, hanya satu tahun modal
habis. Disaat modal habis, dan akupun belum mendapat
pekerjaan, kami saling menyemangati dan
saling menguatkan. Dari kecil aku bukan
orang yang cepat menyerah, tak mungkin aku bisa menyelesaikan kuliah, jika aku
mudah menyerah. Padahal saat itu banyak sekali permasalahan, terutama masalah
biaya. Latar belakang keluargaku bukan orang berada, ayahku hanya tukang
ojek. Tapi dengan semangat dan juga
dukungan serta doa orang tua, akhirnya aku bisa menyelesaikan S1.
Suami sempat
down dengan situasi ini, aku yang
menguatkan. Aku selalu berkata biarlah modal habis, harta habis, asal semangat jangan habis. Kita
masih punya semangat. Akhirnya suami bangkit dengan perlahan dan mulai dari
nol. Suami mulai usaha baru dengan
jualan aksesoris wanita, saat itu modal
300 ribu rupiah. Keadaan saat itu benar-benar sulit, keluarga kami
memang sedang diuji.
Karena aku sering
beli Koran untuk melihat lowongan pekerjaan, aku kembali tegugah untuk menulis,
dulu waktu kuliah aku suka menulis dan mengirimkan ke media cetak. Jika dimuat
dapat uang, jika tidak dimuat aku merasa tidak rugi, karena menulis adalah
hoby, tatkala bisa menyelesaikan satu tulisan utuh, ada kepuasan tersendiri.
Apalagi jika tulisan tersebut dibaca oleh banyak orang.
Aku mencoba lagi
mengasah kemampuanku menulis. Tujuanku saat ini adalah untuk menambah
pundi-pundi keuangan keluarga. Bagaimana caranya anak-anakku seperti anak-anak lain, mendapat asupan
makanan yang bergizi dan bisa mengenyam pendidikan yang terbaik.
Tidak mudah untuk
memulai kembali kebiasaan yang sudah lama tidak dilakukan. Dulu aku merasa
prustasi, tulisanku tak ada kabar dari media. Aku lelah, dan aku tinggalkan
pekerjaanku sebagai penulis. Tapi saat tak ada yang mau menerimaku, instansi
pemerintah, swasta aku kembali menekuni pekerjaan ini. Aku mulai lagi menulis
setiap ide yang berlintasan di kepala. Mulai lagi punya catatan kecil.
Menulis itu butuh
kesabaran ekstra, sabar ketika menuntaskan naskah, dan sabar menunggu naskah
dimuat atau terbit. Satu tahun bukan waktu sebentar. Aku merintis dari nol,
bedanya ketika aku kuliah kirim naskah masih lewat pos, aku juga harus kerental
computer atau warnet jika mau menulis, biasanya aku tulis tangan dulu, dan
komunitas penulis masih sulit untuk
difable yang punya keterbatasan gerak. Sekarang semua lebih mudah,
komunitas penulis secara online juga banyak, aku juga bisa membeli computer
sendiri sebagai modal utama menjadi
penulis.
Satu tahun tulisanku
tak ada yang dimuat. Di komunitas aku
terus mencari peluang, akhirnya kesabaran berbuah manis. Tulisanku mulai
bermunculan di media cetak, subhanallah
tulisan pertamaku muncul pada bulan Romadon dan tidak tanggung-tanggung dalam
satu bulan 3 artikel dimuat di media. Padahal saat itu aku mulai menyerah, memang ini semua pertolongan Allah. Disaat
menghadapi lebaran ada rizki yang tidak disangka-sangka yang jumlahnya lumayan
untuk ukuran kami sekeluarga.
Dari menulis aku bisa membantu suami untuk menambah
modal dagangannya. Sehingga pendapatan dari jualan juga meningkat.
Orang biasanya memilih pedagang yang lengkap barang dagangannya. Aku semakin
semangat menulis, Dari hanya menulis
kemedia-media cetak, aku juga mengembangkan karir dengan menulis buku, menulis
blog dan lain-lain. Alhamdulillah kehidupanku jauh lebih baik.
Biasanya menulis
buku, aku ajukan outline sama penerbit atau agency naskah. Setelah Acc, aku
baru menyelesaikan naskahnya. Waktu yang
diberikan satu sampai dua bulan. Namanya ibu-ibu, pekerjaan rumah sudah pasti
tak ada habisnya. Sedangkan aku harus menulis 4-6 halaman perhari. Belum lagi
anak-anak juga masih kecil, memerlukan perhatian ekstra. Takutnya saya asyik
nulis, anak melakukan hal yang membahayakan.
Aku harus
betul-betul mengatur waktu, waktu yang tepat untuk nulis yaitu ketika anak-anak
tidur. Yang jadi masalah, kedua anakku sulit tidur, baik tidur siang maupun
malam. Apalagi aku juga tak punya asisten rumah tangga. Walhasil aku harus bergadang.
Itulah memang
konsekuensinya jika istri mencari uang, harus bisa mengurangi waktu istirahat.
Sampai kondisi kesehatanku ngedrop, tekanan darah rendah karena kurang tidur. Kalau
aku sakit masih mending, tapi kalau anak yang lagi sakit, lagi ada DL, kepala udah
nyut-nyutan. Takut tidak bisa ngejar target sesuai DL.
Kalau sudah mepet
DL, biasanya aku manggil keponakan ku yang sudah kelas lima SD untuk main sama anakku yang
baru berumur 3 tahun. Aku merasa tenang
kalau dia ditemani main sama kakaknya yang udah besar daripada saya biarkan
main sama teman-teman sebayanya. Sebagai imbalan, biasanya saya belikan
keponakan saya baju atau keperluan sekolahnya
ketika honor tulisan cair.
Kedua anak ku
aktif, kalau sudah main dirumah, rumah
seperti kapal pecah. Semua berantakan. Alat-alat masak berantakan di tengah
rumah, meja dan kursi didorong hingga tak beraturan tempatnya. Untung aku punya
suami yang pengertian, tak pernah menuntut aku selalu masak. Kalau memang tak
ada waktu untuk masak biasanya kami beli di warung yang sudah jadi.
Aku membiasakan
untuk melakukan pekerjaan rumah dengan cepat, biasanya kalau lagi mencuci baju,
aku sambil masak. Atau mencuci baju sambil ngetik. Pokonya kalau didapur aku
seperti memiliki sepuluh tangan.
Dengan segala
keterbatasan aku dan suamiku bahu membahu saling membantu pekerjaan rumah yang
memang tidak pernah habis. Apabila malam tiba aku dan suami sudah dalam keadaan
lelah sekali, suami pulang berjualan, minta dilayani ini itu seperti contoh
kecil siapkan minuman dan makanannya,
minta dipijitin, dan lain-lain. Anak-anak pun sama, ada yan minta diambilin
nasi, minta dianter pipis, sedangkan kondisi badanku juga sudah sangat lelah
dan ingin istirahat. Terkadang kami saling tuduh sama suami ketika anak minta
diambilin seusatu atau minta dianter pipis, “ Ma anter sama Mama saya udah
dibuka kaki.” Ucap suami yang saat itu sudah membuka kaki palsunya. “ Mama cape
banget, kaki mama sakit.” “ Ayolah Ma, seandainya kaki Etta bagus, nggak akan
nyuruh mama.” “ Ta mama juga sama cacat.” Akhirnya aku juga yang ngalah.
Ketika anakku yang
pertama masuk TK, aku berpikir bisa
memiliki banyak waktu untuk nulis. Karena
aku hanya menjaga satu anak kalau pagi hingga jam 11, biasanya kalau
tidak ada kakaknya, anakku yang kecil main sendiri didekatku. Tapi kalau ada
kakaknya, sedikit-sedikit menangis digodain kakaknya. Atau main lari-larian.
Jadi aku tidak konsentrasi menulis. Ternyata dugaanku salah. Anakku yang
pertama tak pernah jauh dari ibunya, sehingga sekolahpun tak mau ditinggal. Aku
harus ada didalam kelas menemani. Ya terkadang aku simpan anakku yang kedua di
ibuku. Karena kalau dibawa keduanya kesekolah repot.
Selama satu semester
aku harus full nunggu anakku di TK. Terkadang aku bawa netbook ke sekolah.
Lumayan waktu yang biasanya terbuang percuma, bisa menghasilkan 1-2 halaman.
Para orang tua siswa yang lain, kebanyakan ibu rumah tangga dan para buruh
pabrik. Mereka awalnya tidak mengetahui kalau aku seorang penulis, tapi
lama-lama mereka tahu karena aku sering bawa netbook dan mengetik di pojok
kelas.
Ibu-ibu yang lain
merasa iri karena aku bisa mencari uang tanpa keluar rumah, artinya pekerjaan
ku bisa dilakukan dirumah, sambil jaga anak. Tapi ada bagusnya juga mereka
mengetahui profesiku, yang awalnya ada aja yang memandang sebelah mata, karena
aku cacat. Tapi setelah tahu kelebihanku, mereka merasa salut.
Alhamdulillah selama
ini aku selalu menyelesaikan DL tulisan tepat waktu. Selain itu aku juga tak
ingin anak-anak kehilangan figure seorang ibu, karena ibunya selalu asyik bersama
laptop. Aku selalu memanfaatkan waktu-waktu bersama anak dan suami. Dan aku pun
selalu menyempatkan untuk mengajar anak-anak mengaji, mengenalkan tauhid,
mengajarkan membaca dan menulis, menemani mengerjakan pekerjaan rumah.
Disaat aku merasa jenuh, aku menghibur diri dengan
bermain bersama anak. Seorang penulis pemula, begitu aku selalu memposisikan
diriku. Tak dipungkiri kalau rasa cemas dan khawatir aku akan kehabisan ide,
khawatir tulisanku tidak diterima oleh masyarakat luas, dan kekhawatiran lainnya
yang sangat beragam.
Memang untuk menjadi
penulis itu tidak mudah, entah berapa banyak tulisanku yang ditolak media dan
penerbit. Semangat naik turun, sedangkan aku dan keluarga dikejar-kejar
kebutuhan hidup yang terus meningkat. Anakku semakin besar, mereka butuh
pendidikan.
Untuk mensiasati
keresahan itu, aku mencari kegiatan lain selain menulis, jadi disaat sepi DL
aku menekuni hoby yang lain yaitu bisnis. Ya aku memang suka berbisnis. Bahkan
jiwa bisnisku sudah tumbuh sejak aku duduk di sekolah dasar. Entah itu jiwa
bisnis atau memang aku saat itu dituntut untuk mandiri dengan mencari uang
jajan sendiri.
Sejak SD aku sudah
jualan makanan ringan di kelas. Bahkan ketika aku kuliah, aku juga berbisnis
MLM, dan saat ini aku menggeluti bisnis online. Bisnis
online memang lagi booming terutama dikalangan ibu rumah tangga. Banyak sekali
macamnya bisnis online. Tapi banyak juga aksi tipu menipu di dunia maya.
Aku harus ekstra
hati-hati, banyak penawaran bisnis, terutama untuk investasi. Tapi aku selalu
menerapkan kehati-hatian. Kalau memang cara kerjanya mudah, dan diiming-imingi
keuntungan yang besar, aku nggak percaya.
Aku memilih untuk
buka toko online. Walaupun masih di blog
gratisan dan di fanspage. Aku beli buku-buku maupun ebook penunjang
bisnis. Aku pelajari seluk beluk bisnis di internet. Aku juga belajar dari
orang-orang yang sudah duluan menggeluti bisnis ini.
Banyak orang mengira
punya bisnis di internet enak, kerja bisa dirumah. Waktu fleksibel. Karena
terlalu fleksibel sampai tak ada waktu untuk yang lain. Itu yang aku rasakan.
Jika kerja kantoran ada waktu istirahat dan pulang kerumah, kalau bisnis
dirumah terkadang tengah malam kita harus melayani SMS atau inbox yang masuk.
Walaupun sudah
belajar ini itu, baca buku-bukunya, toko online ku belum juga mendatangkan
hasil. Karena ketiadaan modal aku hanya sebatas dropsiper. Modalku hanya pulsa internet, sedangkan
barangnya aku ambil dari orang yang
memiliki modal. Toko onlineku cukup lama tak menghasilkan apa-apa. Barang yang aku jual campuran, ada
alat-alat rumah tangga, pakaian dan buku-buku. Yang beli di toko online paling satu
minggu hanya satu atau dua orang.
Aku tinggalkan toko
online, karena hasilnya tak memuaskan.
Aku kembali fokus menulis. Melalui
agency naskah, aku mulai menulis buku dan tetap mengirimkan artikel ke
media-media cetak. Kembali bergulat dengan DL, mencari data kelapangan, bahkan
pengumpulan foto bila diperlukan.
Anakku keduanya
aktif, pernah suatu hari aku sedang
ngetik, ia menumpahkan air minum ke
laptop. Akhirnya beberapa hari laptop tak bisa dipake, dan kembali ke computer
yang udah jadul. Ceritanya computer jadul ini akan ku jual, karena jarang sekali digunakan semenjak ada
laptop. Computer ini member banyak kisah, kisah perjuanganku menembus media.
Ada yang nawar tapi murah, jadi kubiarkan saja disudut kamar. Ternyata sekarang
ada manfaatnya juga, walaupun sering hang.
Aku sering merasakan
stress, tatkala beban pekerjaan tak kunjung selesai, dimana aku juga sering
mengalami kebuntuan dalam menulis. Lihat rumah berantakan. Lihat anak pada
rewel. Lengkap sudah penderitaanku.
Tapi bukankah ini
yang aku inginkan, memiliki pekerjaan tanpa harus meninggalkan rumah. Jika
melihat saudara-saudara atau teman-temanku yang harus bekerja di pabrik, mereka
kena kerja shift, dan harus meninggalkan anaknya mlam hari. Aku mensyukuri
pekerjaan ini. Inilah pekerjaan yang Allah pilihkan untukku. Aku sulit sekali
mencari pekerjaan, karena Allah memiliki rencana lain yang lebih indah, aku
diberi kemampuan untuk merangkai kata-kata dan berimajinasi, aku mensykuri
kemampuanku, karena tidak semua orang diberi kenikmatan itu.
Jika memang aku
harus kekurangan tidur dan sedikit depresi dengan DL-DL, itu merupakan resiko
yang harus aku jalani sebagai penulis. Bukankah
setiap pekerjaan memiliki resiko ? kalau dipikir resiko sebagai penulis
termasuk ringan, tidak seperti pekerjaan lain, terkadang nyawa jadi taruhan.
Biasanya aku
merefresh otak dengan berjalan-jalan, atau shoping dengan anak-anak. Jika aku
sudah lelah dan ngantuk, aku akan tidur dulu, dan bangun dengan keadaan lebih
segar siap untuk menulis lagi.
Sudah tiga tahun ini
aku konsisten menulis, ada deadline maupun tak ada deadline aku tetap menulis.
Hingga menjadi kebiasaan yang tak bisa aku lepaskan. Aku semakin mencintai pekerjaan
ini. Sampai anakku yang baru berusia 3 tahun sering membujuk jika ia mau main
denganku agar aku tidak ngetik lagi, atau dia bilang, “ Ma jangan kerja lagi,
ayo main sama Ade,” seperti biasanya aku
langsung memeluk anak perempuanku yang lagi lucu-lucunya, segera kumatikan
laptop, dan bermain dengannya.
Sebagai seorang ibu
dan seorang istri, tentu aku juga harus membagi waktu. Anak-anak dan suami
memerlukan aku. Ketika suami pulang dalam keadaan lelah, bagaimanapun sedang
sibuknya dengan DL, tugasku sebagai seorang istri melayani suami, salah satunya
yaitu bercakap-cakap atau ngobrol.
Karena biasanya pasangan suami istri mereka sibuk dengan urusan masing-masing,
sehingga tak ada waktu untuk bercerita. Sehingga komunikasi tidak berjalan.
Disaat kita bisa bercerita tentang anak-anak, tentang kejadian-kejadian dirumah
dan suamipun bisa mengeluarkan keluh kesahnya, disanalah ikatan emosional suami
istri semakin erat.
Cinta yang ada harus
terus dipupuk dan disirami dengan kasih sayang. Keharmonisan keluarga menjadi
prioritas utama bagiku. Meningkatnya kesejahteraan keluarga tidak lantas
menjauhnya keharmonisan antar suami istri maupun orang tua dan anak.
Aku yakin ada campur
tangan Allah disetiap naskah-naskahku. Naskahku sebenarnya biasa-biasa saja,
dan tulisanku juga tema-temanya sangat sederhana. Tapi Allah sudah menuntunku
untuk tetap di dunia penulisan dengan diberi kesempatan karya-karyaku dmuat
dimedia cetak.
Benar kata orang,
nulis itu candu. Aku terus ketagihan untuk nulis. Sampai aku tak ingin mencari pekerjaan diluar rumah
seperti dulu. Apalagi setelah mengetahui banyak juga penyandang disabilitas
yang menggantungkan hidupnya dari menulis. Aku semakin semangat untuk
mengembangkan karir didunia literasi.
Suamiku juga mendukung seratus persen karirku. “ Tekuni
saja, suatu hari nanti insya Allah akan
memetik buahnya.” Begitu yang selalu dikatakan oleh bapak dari anak-anakku. Dia
juga dengan ikhlas mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi tugasku,
jika aku sedang ada Deadline.
Suamiku seorang
pekerja keras, walaupun penyandang disabilitas tak mau ia menggantungkan dari
belas kasih orang lain. Untuk menafkahi
anak dan istrinya ia berjualan aksesoris diatas motor. Mangkal dari satu
perusahaan ke perusahaan lain. Teman-teman sesama pedagang awalnya tidak tahu kalau ia menggunakan kaki
palsu. Seteah mengetahui mereka merasa salut, karena bagi penyandang
disabilitas kebanyakan mencari uang dengan menjadi pengemis. Pendapatannya
pasti lebih banyak, jika dibandingkan dengan berjualan aksesoris.
Tapi suamiku tetap
memilih berjualan, lebih halal dan lebih terhormat dibandingkan harus mengemis.
Memang jika ia buka kaki palsunya, dan menggunakan tongkat dipinggir jalan
dengan menengadahkan tangan kepada orang yang lalu lalang pasti banyak orang
yang merasa iba dan memberinya uang.
Malahan sebaliknya, aku dan suami mengajarkan pada kedua anakku, jangan
sampai meminta-minta sama orang lain. Kalau bisa kita yang memberi. Karena
tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah.
Walaupun aku tak
ingin mencari pekerjaan diluar rumah seperti dulu, aku ingin sekali memiliki
penghasilan tambahan. Keinginan untuk
berbisnis cukup besar, tapi aku juga
bingung mau bisnis apa. Terlebih aku masih trauma dengan kegagalan membangun
bisnis. Aku sekarang lebih hati-hati untuk mengalokasikan uang untuk modal.
Kembali niatku untuk
meneruskan toko online, tapi aku ganti dagangannya. Gayung bersambut, adikku
yang berjualan di Tanah Abang nawarin
untuk pemasaran secara online. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Jika
dropsip sama orang lain, biasanya harga yang diberikan lebih mahal.
Awalnya dagangan
online ku berisi barang campuran, kini aku ganti dengan satu jenis saja yaitu
baju koko, baju muslim untuk laki-laki. Karena aku sudah berpengalaman dengan toko online sebelumnya. Sehingga tak begitu sulit. Aku gunakan strategi marketing yang kudapat
dari buku-buku maupun pelatihan online.
Alhamdulillah
perjuangan dan doa saya membuahkan hasil, omset toko online pada bulan ramadhan
kali ini lebih dari 15 juta. Itupun banyak pembeli yang tidak terlayani. Dalam
membangun toko online ini memang tak semudah yang kita bayangkan.
Seorang ibu rumah
tangga yang memiliki dua anak balita, aku harus mengorbankan waktu istirahat
demi tercapainya apa yang menjadi cita-citaku. Aku membagi waktu untuk
mengupload foto-foto dagangan, menjawab inbox, sms yang masuk. Semua aku
lakukan dengan enjoy, jadi semuanya terasa ringan.
Banyak suka duka
menjalani bisnis dropsip ini. Dukanya ketika dimarahi oleh konsumen karena
barang datang terlambat, atau barang tidak sesuai yang diinginkan, karena
memang bukan aku yang mengirimkan barangnya. Ini memang resikonya mungkin
berjualan online, selain banyaknya penipuan. Barang juga biasanya beda dengan
yang terpampang di foto.
Aku juga masih
menulis, dan suatu hari nanti aku juga akan menulis tentang bisnisku, bisnis
rumahan yang dijalankan oleh ibu rumah tangga. Aku bersyukur memiliki
penghasilan tanpa harus meninggalkan rumah. Sehingga aku bisa mengikuti pertumbuhan
anak-anak.
Kerja dirumah juga
banyak tantangannya, terutama ketika mau mulai kerja, anak minta sesuatu.
Biasanya minta makan, minta dianter pipis, minta ditemani main dan lain-lain
jika kita kurang sabar banyak orang yang menyerah di tengah jalan.
Dengan menjalankan
bisnis dirumah, waktu untuk berkumpul dengan sesame ibu rumah tangga jadi
berkurang, ini menurut ku ada positifnya, karena mengurangi gossip. Ya semenjak
aku menjadi penulis aku jadi jarang sekali bergosip sama tetangga rumah.
Pengalamanku ini
mudah-mudahan bisa menginspirasi bagi banyak orang, terutama bagi kaum
disabilitas. Kaum disabilitas bisa mandiri, asalkan ada kemauan insyaallah ada
jalan. Walaupun saat ini aku masih tinggal dirumah orang tua, tapi aku punya
keyakinan bahwa aku akan memiliki rumah sendiri.
Ternyata banyak juga
penyandang disabilitas yang menggantungkan hidupnya dari menulis, aku jadi
lebih semangat mengasah kemampuan dalam menyusun kata-kata. Dan syukurku tiada henti pada yang maha kuasa
yang telah memberi dan menuntunku ke dunia tulis menulis. Mungkin ini adalah
jawaban dari setiap doaku. Pada saat masa-masa sulit mencari pekerjaan, aku
selalu berpikir positif, bahwa Allah sedang merencanakan yang terbaik untuk
kehidupanku. Dan memang benar seperti kata pepatah, kamu adalah apa yang kamu
pikirkan.
Dengan menulis aku
merasa bisa lebih bermanfaat untuk orang banyak. Dan inilah alasan kenapa aku
aku ingin menjadi penulis, karena dengan menulis ide-ide kita bisa diketahui
orang, bisa mengubah hidup seseorang dengan membaca tulisan yang penuh
inspirasi.
Alhamdulillah kini
usia anakku yang kedua genap tiga tahun, selama itulah aku menggeluti dunia
kepenulisan ini. Selama tiga tahun
ini sudah empat buku solo yang sudah
terbit, dan beberapa yang masih menunggu terbit. Dan beberapa tulisan mengenai
opini, cerita anak, resensi muncul di media cetak.
Dalam menjalani
hari-hariku, aku semakin bahagia. Dan akupun semakin percaya diri dengan
statusku sebagai ibu yang nyambi nulis
dan bisnis. Alhamdulillah anak-anakku tumbuh tak pernah lepas dari
pengawasanku.
Setiap hari ada
targetan yang mesti aku capai, bukan saja masalah dunia. Tapi aku juga ingin
anak-anakku menjadi penghapal al quran,
mengajar anak yang efektif adalah dengan contoh dan teladan. Untuk mewujudkan cita-citaku itu aku juga
berusaha menghapal Al Quran dengan metode one day one ayat. Selain dengan contoh, yang tak pernah aku
lupakan adalah berdoa, mudah-mudahan Allah menjadikan anak-anakku sebagai
penjaga al quran.
Semua memang butuh
perjuangan, apalagi anak-anak tidak bisa dipaksakan kemauannya. Terkadang
mereka semangat belajar, terkadang juga kalah dengan tayangan televise yang
semakin beragam. Biasanya aku
mengajarkan anak dengan metode bermain agar anak tidak merasa jenuh.
Pada akhirnya berhasil
atau tidak programku membentuk anak menjadi seorang hafid dan hafidzah aku
kembalikan pada Allah. Yang terpenting aku sudah berusaha semampuku, dan insya
Allah aku bercita-cita anak-anakku mau pesantren khusus tahfid suatu hari
nanti, dan dimudahkan dalam mencari rizkinya.
Pilihan menjadi ibu
rumah tangga ataupun wanita karier diharapkan jangan disesali yang membuat
hidup tidak bisa dinikmati. Jika kita
memang tidak memiliki kesempatan untuk berkarier diluar rumah, karena beberapa
kendala seperti contohnya aku sebagai penyandang disabilitas, mungkin inilah
yang terbaik yang ditetapkan oleh Allah dan Allah memberikan lahan pekerjaan
yang terbaik dan tepat untuk aku jalani.
Pesan saya bagi ibu
rumah tangga yang ingin memiliki penghasilan sendiri, jangan bosan untuk
belajar dan mencoba, jika kita gagal jangan cepat menyerah, cari kelemahannya
dan perbaiki. Mudah-mudahan tulisan ini
bisa menginspirasi.