Judul
buku : Mahkota Cahaya Untuk Ayah Bunda
Penulis
: Fifa Dilla
Tahun
terbit : Cetakan pertama, Juni 2014
Penerbit
: Noura Books
ISBN
: 978-602-1306-26-0
Hafiz
adalah seorang anak yatim piatu. Orang tuanya mengalami kecelakaan kapal ketika
ia masih berumur 1 tahun. Setelah orang tuanya meninggal ia tinggal bersama
kakeknya Ustad Alimudin.
Dibawah
bimbingan sang kakek Hafiz ingin mewujudkan cita-cita orang tuanya agar ia
menjadi penghapal Al Quran dan menjadi mahkota cahaya untuk ayah bundanya. Namun dalam pelaksanaannya hafiz merasa iri
dengan teman-temannya Mahmud, Nur, Riski dan jidan yang bisa mengenyam bangku
pendidikan (Halaman 66). Terlebih ketika teman-temannya berdarma wisata ke
Surabaya. Keinginannya untuk sekolah sangat besar, tapi kakek Alimudin tetap
dengan pendiriannya kalau Hafiz harus khatam hapalan quran dulu baru boleh
sekolah.
Seorang
penghapal Al Quran dijamin hidupnya oleh Allah, dan semua ilmu ada dalam Al
Quran jadi Hafiz tidak perlu sekolah, begitu menurut Kakek Alimudin( Halaman 63). Hafiz tidak
menerima begitu saja larangan sang kakek, ia terus berusaha agar ia juga
bisa sejajar dengan teman-temannya.
Diam-diam
ia mengikuti pelajaran sekolah di bawah jendela. Suatu hari ia ketahuan oleh Pak Japar sering
menguping dibawah jendela. Pak Japar ingin sekali membantu Hafiz agar mendapat
pendidikan seperti teman sebayanya. Ia berusaha untuk minta izin kepada Ustad
Alimudin agar mengizinkan Hafiz untuk sekolah. Namun usahanya sia-sia, Ustad
Alimudin tetap dalam pendiriannya. Akhirnya Pak Japar memberikan pelajaran
tambahan diluar jam sekolah kepada Hafiz untuk belajar baca tulis.
Keinginan
Hafiz untuk sekolah terwujud, karena. Kakek Alimudin ditahan polisi beliau disangka
teroris. Awalya ia tak mengetahui kalau kepergian kakek karena ia ditahan polisi, yang ia ketahui
kalau kakeknya pergi ke kota kecamatan. Ia merasa bebas untuk pergi kesekolah
dan belajar bersama teman-temannya. Setelah mengetahui kakeknya ditahan polisi
Hafiz sangat terpukul terlebih teman-teman Hafiz dan warga sekitar menjauhinya.
Para orang tua takut kalau anaknya bergaul dengan cucu teroris, langgar yang
biasanya ramai oleh anak-anak kini menjadi sepi.
Hafiz
sempat marah kepada Pak Japar, karena beliau lah kakeknya kini berada di
penjara. Pak Japar berkomuniksi lewat
e-mail mengenai permasalahan pendidikan di pelosok, dan membahas cara kakek Alimudin medidik
cucunya. Email tersebut dibaca pihak lain, pada akhirnya kakek Alimudin
diperiksa oleh Polisi.
Kekhawatiran
Hafiz terobati ketika Kakek Alimudin
pulang. Terbukti kakek Alimudin bukan teroris dan
hanya ada kesalahpahaman. Kakek Alimudin
hanya dimintai keterangan mengenai pondok pesantren yang dipimpin oleh Ustad
Ba’bullah Asyri, tempat ia menimba ilmu agama. Kakek pulang dalam keadaan
sakit, ia hanya bisa berbaring lemah. Tak lama kemudian beliau meninggal,
sebelum menghantarkan Hafiz menjadi penghapal Al Quran.
Tinggallah Hafiz sebatang kara,
ia sangat menyesal telah sembunyi-sembunyi sekolah, dan bergulat dengan
berbagai pertanyaan. Seandainya aku hafal Al-Quran, benarkah Allah takkan
membiarkanku sebatang kara? Benarkah itu berarti Kakek takkan meninggal dunia?
Benarkah dengan menghafal Al-Quran, aku mempersembahkan mahkota cahaya untuk
ayah dan bunda di surga? Rasa kehilangan yang mendalam terhadap
kakeknya membuat kondisi Hafiz menjadi labil, bahkan ia merasa hapalan qurannya
hilang.
Pada
akhirnya ia bisa menghatamkan hapalannya sebanyak 30 juz (Halaman 244), berkat
Pak Jafar seorang guru yang mendorong Hafiz untuk belajar dan menghatamkan Al
Quran di pesantren Al habib yang berada di kota. Hafiz sang penghapal Quran
telah menemukan berbagai keajaiban dari Al Quran, salah satunya selalu
dimudahkan dalam setiap urusan yang dihadapinya.
Novel
keluarga ini memberi banyak inspirasi bagi pembaca, tak salah jika Noura Book memilih
jadi jawara dalam ajang Noura book Academy.
Penulis mampu meramu konflik yang sederhana. Konflik batin pada diri Hafiz antara
pentingnya belajar agama untuk mewujudkan cita-cita orang tua beserta kakeknya
yaitu menjadi penghapal Al Quran serta keinginannya untuk belajar bersama
teman-temannya dan keinginannya untuk menjadi dokter.
Pada
bab pertama penulis mampu membuat pembaca terharu dengan Kiamat Sugranya. Rasa
penasaran untuk menuntaskan bacaan dan menyelami gaya bahasa penulis semakin
besar. Hingga bab terakhirpun pembaca bisa menitikkan airmata tatkala Hafiz
cilik mampu menemukan keajaiban Al Quran.
Memang betul bagusnya sebuah tulisan bukan karena ceritanya, tapi karena
kelihaian penulis dalam meramu kata-kata.