Malam ini seperti juga malam-malam kemarin terasa dingin sekali, daerahku memang daerah pegunungan yang terkenal dingin. Suara kodok bersahutan dengan binatang malam mengalun membentuk irama. Sesekali terdengar suara tokek yang sengaja ku pelihara didalam rumah. Penat sekali hari ini kurasa, setelah seharian duduk diatas mobil. Kusandarkan kepalaku diatas bantal. “ sudah kau jenguk mamak mu Ndi ? “ tiba-tiba nene muncul di balik tirai mengagetkan aku yang sedang termenung. “ baah,” “ Bagaimana keadaannya ?” “ kata perawat yang aku temui, keadaannya masih seperti kemarin. Kalau HB nya sudah normal, tunggu di oprasi” aku ngeloyor keluar menghindari nene , pasti berkepanjangan nanyain keadaan mamakku.
Nene
adalah orang yang merawatku semenjak
umurku satu minggu, seminggu setelah
kelahiranku, mama pergi meninggalkanku di rumah nene. Semenjak itu aku tak pernah lagi merasakan
belaian seorang ibu, aku seperti anak
yang dibuang. Malang memang nasibku, banyak anak yang tidak diakui oleh
bapaknya, tapi aku tidak diakui oleh ibu kandungku sendiri. Mamakku tidak
pernah menganggapku ada didunia ini.
Bahkan dalam kartu keluargapun tak ada namaku tertera disana.
Aku
anak yang tidak dinginkan kelahirannya. Mungkin aku satu aib bagi mereka sehingga aku disembunyikan dirumah nene yang
terpencil, rumah nene tak seramai ini dulu, jarak satu rumah dengan rumah yang
lain berjauhan. Disini masih seperti hutan, pohon-pohon hijau masih menjulang
tinggi. Jika malam tiba suara tongeret
dan jangkrik saling bersahutan, disusul dengan binatang-binatang khas malam
lainnya.
Keberadaanku
adalah suatu kesalahan, tapi bukan kesalahanku, aku yang menanggung dosanya.
Adilkah ini Tuhan ? entah apa yang dilakukan bapa dan mamakku, aku tak
mengerti, mereka lakukan kesalahan tapi tak mau mempertanggungjawabkannya, nene
yang sudah tua, lelah dan sakit-sakitan harus mengurus aku. Aku juga tidak habis pikir apa yang mamakku
lakukan sewaktu mengandung aku. Sehingga
aku lahir cacat, kata dokter itu pengaruh obat-obatan ketika hamil. Apakah
mamakku berusaha menggugurkan kandungannya ? duuh sebegitu bencinya dia padaku.
Seandainya aku bisa memilih lebih baik aku mati keguguran, daripada mengalami
hidup yang sepedih ini. Tidak diterima oleh ibu kandung sendiri.
Aku
tinggal di Sinjai sebuah kampung yang jauh dari ibukota Makkasar, memerlukan 9
jam perjalanan untuk menuju kesana. Setelah melewati 6 kabupaten yaitu
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, takalar, Gowa, Makasar. Sinjai juga merupakan nama Kabupaten, hanya
saja belum banyak pembangunan disini, penduduk kebanyakan bertani, hanya
sebagian yang pergi ke Makasar untuk bekerja.
Bapakku sendiri tinggal di Bantaeng, kurang lebih 3 jam perjalanan dari
kampungku, disana bapakku kerja sebagai
guru, beliau PNS dikota Bantaeng.
Tinggal bersama Mamak dan 3 orang adikku. Mamakku juga PNS, dia berasal
dari Bulukumba, dari keluarga bangsawan
Bugis, ayah nya orang terpandang
disana. Begitu cerita nene. Mungkin
itulah alasannya kenapa mamakku malu mengakui aku sebagai anak, aku anak haram, aku anak diluar nikah, bahkan sampai usiaku 22 tahun kini aku belum
tahu keluargaku di bulukumba, kake dan nene, om dan tanteku, juga sepupu-sepupuku. Bagaimana aku bisa mengenal mereka , aku
tidak pernah dipertemukan. Nenekku
pernah cerita bahwa ia diusir oleh mamakku. Waktu itu aku masih balita. Dengan
susah payah nene membawaku ke Bulukumba, karena mamakku sedang ada disana
dirumah orangtuanya. Maksud nene ingin memperkenalkan aku dengan keluarga
besar di Bulukumba, karena sejak
kelahiranku tidak ada satupun keluarga
mamak yang datang. Baru sampai di depan pintu mamak cepat-cepat
mengusir nene. Tidak ada satupun
keluarganya yang melihat kami. Kecewa
dan sedih sudah pasti nene rasakan. Perjalanan yang menyita waktu dan tenaga
ternyata sia-sia. Tamu bukannya disambut dengan baik, malah diusir didepan
pintu. Dari sana nene berjanji tak akan
menginjakkan kaki lagi di rumah menantunya lagi, yaitu mamakku sendiri.
Sedangkan
mamakku juga merasa takut pergi kerumah
nene di Sinjai, karena setelah peristiwa itu seluruh keluarga bapa marah,
kapan-kapan datang mamakku menginjakkan kaki di kampung ini akan habis di
massa. Mereka marah karena telah memperlakukan nene dengan kasar dan
menyia-nyiakan aku anaknya. Setelah
peristiwa itu akulah korban yang paling menderita, aku semakin jauh dengan
mamak, tak ada harapan lagi untuk dekat dengannya, bahkan nene yang paling dekat denganku sering
menyisipkan kebenciannya dibenakku.
Karena aku tumbuh kurang kasih sayang orang tua, jadilah aku seperti
anak liar, sekolahku tidak tamat,
ijazahku hanya sampai SD. Saat itu aku malu, teman-teman selalu mengejekku anak
haram, tak punya ibu. Ya jelas aku malas pergi kesekolah. Sekarang umur sudah
dewasa baru menyesal, tidak ada pekerjaan
tetap. Sehari-hariku hanya ikut ke sawah
dan kebun milik kake dan nene.
Sekali-kali penduduk kampung menyuruhku untuk manjat pohon kelapa, hanya itu keahlian yang kupunya.
Mamakku
kini terbaring lemah tak berdaya. 3 tahun yang lalu mamak sakit yang sama,
yaitu kangker payudara. Setelah dilakukan operasi, diangkat satu payudaranya
beliau sehat kembali. Dan beraktifitas seperti biasa. Sekarang kangker itu menggerogoti payudara
yang satu. Kulihat keadaan mamak lebih parah dari sakitnya 3 tahun lalu. Vonis
dokter sudah stadium 4. Tipis harapan mamak untuk kembali sehat. Obat-obatan
yang masuk hanya untuk memperlambat kematiannya. Walaupun hidup dan mati sudah diatur oleh
yang maha kuasa.
Ini
kali ke 3 mamak memanggilku untuk datang ke Makasar tempat dimana satu bulan ini ia dirawat. Tapi entah mengapa hati ini
begitu keras, mendengar mamak sakit parahpun aku tak bergeming, mungkin tak ada ikatan batin lagi antara aku
dan mamak. 22 tahun bukan waktu yang sebentar.
Selama itu aku tak mengenal sosok seorang yang seharusnya kupanggil
mamak. Aku tak mengenal wajahnya, suaranya, bau badannya. Dimanakah ia saat aku rindu belaiannya, saat
aku rindu kasih sayangnya, saat aku ingin bermanja-manja, saat aku sakit,
pernahkah ia memikirkan aku, mengkhawatirkan aku ? anaknya, darah dagingnya, sudah terlanjur pedih kurasakan.
Kalau
saja bukan nene dan tanteku yang menasihati, mungkin aku takkan pergi menemui
mamak, ya nene bilang jangan kau siksa mamakmu, mungkin ia mau minta maaf atas
kekhilafannya. Sehingga ia mati dalam keadaan tenang. Allah sayang terhadap mamakmu, ia memberi
sakit yang parah supaya mamakmu bertobat
dulu sebelum ajal menjemput. Apabila ia
bersabar dosanya sudah dihapus oleh Allah dengan penderitaan sakit yang
berkepanjangan.
Kemarin
aku menjenguk mamak di rumah sakit, tapi
aku tidak menemuinya, aku hanya berdiri di depan pintu kamar, kulihat mamak
sedang tertidur lelap. Aku masih ragu
untuk mendekat. Lama aku berdiri didepan
pintu. Tapi tak ada satupun yang jaga mamak disini, biasanya ade dan tanteku
yang jaga disini bergantian. Mungkin mereka sedang keluar cari makanan. Karena aku datang pas waktu makan
siang. Wajah mamak terlihat lebih tua dari usianya, kulit muka nya hitam legam pengaruh kemotrapi yang dijalaninya. Rambutnya rontok hingga tak ada sehelai
rambutpun yang menutupi kepalanya.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh seorang suster yang hendak memeriksa
mamak. Aku tanyakan kondisi kesehatan mamak saat ini. Dan cepat-cepat berlalu takut
apabila mamak bangun dan melihatku. Aku merasa belum siap bertemu dengannya.
Walaupun sejak kecil aku selalu merindukannya, tapi aku tak mau bertemu dengan
keadaan seperti ini. Disaat mamak sedang sekarat menunggu malaikat maut
menjemput. Aku bilang begitu karena penyakit kangker stadium 4, sudah tipis
harapan bisa tertolong. Walaupun harapan
selalu dibisikkan oleh dokter ketelinga
pasien. Hati kecil tak bisa dibohongi.
Aku
pulang dengan perasaan gamang, meninggalkan mamak tanpa bertatap muka dahulu.
Tapi cepat-cepat kuusir perasaan bersalahku, aku menghibur diri dengan
menyalahkan mamak yang tak pernah peduli kepadaku. Aku berusaha untuk tak
memikirkan dan acuh tak acuh.
***
Seminggu
kemudian bapak datang, dia membawa kabar kalau mamakku, sudah agak baikan. Dan
sekarang ia dibawa kerumah orangtuanya di Bulukumba, bapakku bilang kalau mamak
ingin sekali bertemu denganku. Aku menoleh kearah nene, dan nene menganggukan
kepala satu isyarat bahwa ia menyetujuinya.
Aku
memasuki sebuah pekarangan rumah kayu yang lumayan luas, rumah bangsawan bugis.
Ada perbedaan antara rumah kaum bangsawan dan rumah rakyat biasa. Walaupun
sama-sama rumah panggung. Kalau rumah bangsawan letak tangganya ada ditengah.
Tapi kalau rumah rakyat biasa letak tangganya ada di pinggir. Kuseret langkah kakiku, terasa berat sekali.
Maklumlah aku hanya orang kampung yang tak punya pendidikan. Yang akan kutemui
keluarga besar mamak yang hampir semuanya punya jabatan penting. Disini memang
asas kekeluargaan masih dipegang teguh. Dari mulai bupati sampai kepala desa
masih ada hubungan kekerabatan dengan keluarga besar disini. Wajar kalau aku
sedikit nerveus, baru kali ini aku akan dipertemukan dengan keluarga besar
mamak. Keringat dingin mengalir diseluruh tubuhku. Aku tak tahu apa yang akan
terjadi didalam sana. Apakah mereka akan menolak atau menerima kehadiranku
?
Setelah
satu-satu aku salami tibalah saat yang paling mendebarkan, aku akan menemui
mamakku didalam kamar. Aku masuk sendiri
tanpa ada yang menemani, kulihat mamak terbaring lemah. Bau busuk menusuk
hidung, bersumber dari perban yang membungkus payudaranya. Kangker ganas itu
telah menyedot berat badan mamak. Mamak nampak kurus kering. Aku duduk
disamping mamak, kupandangi dengan lekat. Wajahnya tak ada bedanya denganku,
bagaimana bisa mamak tak mengakui aku sebagai anaknya ? jerit batinku. Tak
terasa ada aliran hangat menetes dipipiku. Lama-lama semakin deras seperti anak
sungai mengalir. “ Ya Allah… cepat cabut penderitaan Mamakku.” Tiba-tiba hatiku
berkata demikian.
Mata
yang tertutup itu lambat-lambat terbuka. “ Kau Dida “ “ iye saya “ cepat cepat
kuhapus air mata aku tak mau dibilang laki-laki cengeng. Mamak memelukku erat
mencair sudah kebekuan antara kami. Mamak tergeletak dipangkuanku, aku kaget,
kugoyang-goyang badannya, dan kupegang denyut nadinya. berhenti. Tak ada
denyutan kurasakan, mamak meninggal dipangkuanku. Mamak pulang dipanggil oleh
yang maha kuasa, siapapun tak mampu mencegah. Tak terkecuali aku yang baru
bertemu dengannya. Andai aku bisa menawar, jangan dulu mamakku yang kau panggil
Tuhan. Karena aku ingin merasakan lebih lama
hangatnya pelukan mamak.
Semua
mata berkaca-kaca, bahkan adekku yang bontot meraung-raung. Menangisi mamak.
Maklumlah ia anak yang sangat dimanja sama mamak. Aku memiliki 3 orang adek
laki-laki, semua tinggal bersama mamak, dan sangat dekat dengannya. Merekalah
yang paling terpukul dengan meninggalnya mamak. Adekku yang paling tua Azam
namanya, ia lah yang paling dekat denganku, karena ia sejak kecil selalu pergi
kerumah Nene di Sinjai. Ia memelukku dengan erat. Dan air mata kamipun tumpah.
Setelah
dimandikan, disholatkan lalu jenazah disemayamkan diperistirahatan
terakhir. Aku duduk termenung ditangga
rumah kayu, memandang kosong kejalan raya. Aku masih merasa asing dikeluarga
ini. Jadi aku putuskan untuk tak banyak bicara. Tiba-tiba Azam datang dari
dalam rumah dan menyerahkan sepucuk surat. Katanya dari Mamak.
“
beberapa hari yang lalu mamak memberiku sepucuk surat yang ditujukan buatmu, tapi karena aku sibuk
kuliah dan mengurus administrasi rumah sakit jadi baru sempat aku kasihkan
sekarang. “ “ ndak pa pa, makasih ya.”
Sepeninggalnya
Azam, kubuka surat dari Mamak dan kubaca dengan perlahan.
“ Ndi maafkan mamak, kini mamak
sudah membayar karmanya. Mamak bersalah sudah menyia-nyiakan anak yang tidak
berdosa dan tidak menyusuimu, sehingga Tuhan Allah menegur mamak dengan penyakit kangker payudara. Tapi mamak ikhlas mudah-mudahan
penyakit ini bisa menebus dosa-dosa mamak.
Mamak mengerti kalau kau membenci
mamak, karena mamak yang telah meninggalkanmu. Sehingga berapa kali mamak
panggil kau untuk datang, tidak pernah kau penuhi panggilan mamak. Jadi mamak
tulis surat ini dan dititip pada Azam.
Sebenarnya mamak panggil kau kesini
ada yang mau mamak berikan untukmu, rekening mamak yang khusus mamak simpan
untukmu, mudah-mudahan cukup untuk merintis usaha demi masa depanmu. Isinya
memang tak seberapa, dan tidak juga bisa menebus rasa bersalah mamak, tapi
mudah-mudahan bisa kau manfaatkan sebaik-baiknya.
Wassalam
Mamak
Ya
Allah, maafkan aku. Dan terimalah amal baik mamak selagi hidup dan hapuskanlah
semua dosa-dosanya. Amiin. Kulipat kembali surat mamak baik-baik.
Bandung, Januari
2013
Daftar
istilah : Baah = iya , Andi (Ndi) panggilan kehormatan kaum bangsawan
bu