Memberi dan Menginspirasi

Senin, 24 Februari 2014

CERPEN : LUKA YANG DITINGGALKAN MAMAK


Malam ini seperti juga malam-malam kemarin terasa dingin sekali,  daerahku memang daerah pegunungan yang terkenal dingin. Suara kodok bersahutan dengan binatang malam  mengalun membentuk irama. Sesekali terdengar suara tokek yang sengaja ku pelihara didalam rumah.  Penat sekali hari ini kurasa, setelah seharian duduk diatas mobil. Kusandarkan kepalaku diatas bantal. “  sudah kau jenguk mamak mu Ndi ? “ tiba-tiba nene muncul di balik tirai  mengagetkan aku yang sedang termenung. “ baah,” “ Bagaimana keadaannya ?”  “ kata perawat yang aku temui, keadaannya masih seperti kemarin. Kalau HB nya sudah normal, tunggu di oprasi”  aku ngeloyor keluar menghindari nene , pasti berkepanjangan nanyain keadaan mamakku.
Nene adalah orang yang merawatku  semenjak umurku satu minggu,  seminggu setelah kelahiranku, mama pergi meninggalkanku di rumah nene.  Semenjak itu aku tak pernah lagi merasakan belaian seorang ibu,  aku seperti anak yang dibuang. Malang memang nasibku, banyak anak yang tidak diakui oleh bapaknya, tapi aku tidak diakui oleh ibu kandungku sendiri. Mamakku tidak pernah menganggapku ada didunia ini.  Bahkan dalam kartu keluargapun tak ada namaku tertera disana.
Aku anak yang tidak dinginkan kelahirannya. Mungkin aku satu aib bagi mereka  sehingga aku disembunyikan dirumah nene yang terpencil, rumah nene tak seramai ini dulu, jarak satu rumah dengan rumah yang lain berjauhan. Disini masih seperti hutan, pohon-pohon hijau masih menjulang tinggi.  Jika malam tiba suara tongeret dan jangkrik saling bersahutan, disusul dengan binatang-binatang khas malam lainnya.
Keberadaanku adalah suatu kesalahan, tapi bukan kesalahanku, aku yang menanggung dosanya. Adilkah ini Tuhan ? entah apa yang dilakukan bapa dan mamakku, aku tak mengerti, mereka lakukan kesalahan tapi tak mau mempertanggungjawabkannya, nene yang sudah tua, lelah dan sakit-sakitan harus mengurus aku.  Aku juga tidak habis pikir apa yang mamakku lakukan sewaktu mengandung aku.  Sehingga aku lahir cacat, kata dokter itu pengaruh obat-obatan ketika hamil. Apakah mamakku berusaha menggugurkan kandungannya ? duuh sebegitu bencinya dia padaku. Seandainya aku bisa memilih lebih baik aku mati keguguran, daripada mengalami hidup yang sepedih ini. Tidak diterima oleh ibu kandung sendiri.
Aku tinggal di Sinjai sebuah kampung yang jauh dari ibukota Makkasar, memerlukan 9 jam perjalanan untuk menuju kesana. Setelah melewati 6 kabupaten yaitu Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, takalar, Gowa, Makasar.  Sinjai juga merupakan nama Kabupaten, hanya saja belum banyak pembangunan disini, penduduk kebanyakan bertani, hanya sebagian yang pergi ke Makasar untuk bekerja.  Bapakku sendiri tinggal di Bantaeng, kurang lebih 3 jam perjalanan dari kampungku,  disana bapakku kerja sebagai guru, beliau PNS dikota Bantaeng.  Tinggal bersama Mamak dan 3 orang adikku. Mamakku juga PNS, dia berasal dari Bulukumba, dari  keluarga bangsawan Bugis,  ayah nya orang terpandang disana.  Begitu cerita nene. Mungkin itulah alasannya kenapa mamakku malu mengakui aku sebagai anak,  aku anak haram, aku anak diluar nikah,  bahkan sampai usiaku 22 tahun kini aku belum tahu keluargaku di bulukumba, kake dan nene, om dan tanteku, juga sepupu-sepupuku.  Bagaimana aku bisa mengenal mereka , aku tidak pernah dipertemukan.   Nenekku pernah cerita bahwa ia diusir oleh mamakku. Waktu itu aku masih balita. Dengan susah payah nene membawaku ke Bulukumba, karena mamakku sedang ada disana dirumah orangtuanya. Maksud nene ingin memperkenalkan aku dengan keluarga besar  di Bulukumba, karena sejak kelahiranku tidak ada satupun  keluarga mamak yang  datang.  Baru sampai di depan pintu mamak cepat-cepat mengusir nene.  Tidak ada satupun keluarganya yang melihat kami.  Kecewa dan sedih sudah pasti nene rasakan. Perjalanan yang menyita waktu dan tenaga ternyata sia-sia. Tamu bukannya disambut dengan baik, malah diusir didepan pintu. Dari sana nene berjanji  tak akan menginjakkan kaki lagi di rumah menantunya lagi, yaitu mamakku sendiri.
Sedangkan mamakku juga merasa takut  pergi kerumah nene di Sinjai, karena setelah peristiwa itu seluruh keluarga bapa marah, kapan-kapan datang mamakku menginjakkan kaki di kampung ini akan habis di massa. Mereka marah karena telah memperlakukan nene dengan kasar dan menyia-nyiakan aku anaknya.    Setelah peristiwa itu akulah korban yang paling menderita, aku semakin jauh dengan mamak, tak ada harapan lagi untuk dekat dengannya,  bahkan nene yang paling dekat denganku sering menyisipkan kebenciannya dibenakku.  Karena aku tumbuh kurang kasih sayang orang tua, jadilah aku seperti anak liar,  sekolahku tidak tamat, ijazahku hanya sampai SD. Saat itu aku malu, teman-teman selalu mengejekku anak haram, tak punya ibu. Ya jelas aku malas pergi kesekolah. Sekarang umur sudah dewasa baru menyesal,  tidak ada pekerjaan tetap.  Sehari-hariku hanya ikut ke sawah dan kebun milik kake dan nene.  Sekali-kali penduduk kampung menyuruhku untuk manjat pohon kelapa,  hanya itu keahlian yang kupunya.
Mamakku kini terbaring lemah tak berdaya. 3 tahun yang lalu mamak sakit yang sama, yaitu kangker payudara. Setelah dilakukan operasi, diangkat satu payudaranya beliau sehat kembali. Dan beraktifitas seperti biasa.  Sekarang kangker itu menggerogoti payudara yang satu. Kulihat keadaan mamak lebih parah dari sakitnya 3 tahun lalu. Vonis dokter sudah stadium 4. Tipis harapan mamak untuk kembali sehat. Obat-obatan yang masuk hanya untuk memperlambat kematiannya.  Walaupun hidup dan mati sudah diatur oleh yang maha kuasa.
Ini kali ke 3 mamak memanggilku untuk datang ke Makasar tempat dimana  satu bulan ini  ia dirawat. Tapi entah mengapa hati ini begitu keras, mendengar mamak sakit parahpun aku tak bergeming,  mungkin tak ada ikatan batin lagi antara aku dan mamak. 22 tahun bukan waktu yang sebentar.  Selama itu aku tak mengenal sosok seorang yang seharusnya kupanggil mamak.  Aku tak mengenal wajahnya,  suaranya, bau badannya.  Dimanakah ia saat aku rindu belaiannya, saat aku rindu kasih sayangnya, saat aku ingin bermanja-manja, saat aku sakit, pernahkah ia memikirkan aku, mengkhawatirkan aku ?  anaknya, darah dagingnya,  sudah terlanjur pedih kurasakan.
            Kalau saja bukan nene dan tanteku yang menasihati, mungkin aku takkan pergi menemui mamak, ya nene bilang jangan kau siksa mamakmu, mungkin ia mau minta maaf atas kekhilafannya. Sehingga ia mati dalam keadaan tenang.  Allah sayang terhadap mamakmu, ia memberi sakit  yang parah supaya mamakmu bertobat dulu sebelum ajal menjemput.  Apabila ia bersabar dosanya sudah dihapus oleh Allah dengan penderitaan sakit yang berkepanjangan.
Kemarin aku menjenguk mamak di rumah sakit,  tapi aku tidak menemuinya, aku hanya berdiri di depan pintu kamar, kulihat mamak sedang tertidur lelap.  Aku masih ragu untuk mendekat. Lama aku berdiri  didepan pintu. Tapi tak ada satupun yang jaga mamak disini, biasanya ade dan tanteku yang jaga disini bergantian. Mungkin mereka sedang keluar cari  makanan. Karena aku datang pas waktu makan siang. Wajah mamak terlihat lebih tua dari usianya,  kulit muka nya hitam legam  pengaruh kemotrapi yang dijalaninya.  Rambutnya rontok hingga tak ada sehelai rambutpun yang menutupi kepalanya.  Tiba-tiba aku dikagetkan oleh seorang suster yang hendak memeriksa mamak.  Aku tanyakan kondisi kesehatan  mamak saat ini. Dan cepat-cepat berlalu takut apabila mamak bangun dan melihatku. Aku merasa belum siap bertemu dengannya. Walaupun sejak kecil aku selalu merindukannya, tapi aku tak mau bertemu dengan keadaan seperti ini. Disaat mamak sedang sekarat menunggu malaikat maut menjemput. Aku bilang begitu karena penyakit kangker stadium 4, sudah tipis harapan bisa  tertolong. Walaupun harapan selalu  dibisikkan oleh dokter ketelinga pasien. Hati kecil tak bisa dibohongi.
Aku pulang dengan perasaan gamang, meninggalkan mamak tanpa bertatap muka dahulu. Tapi cepat-cepat kuusir perasaan bersalahku, aku menghibur diri dengan menyalahkan mamak yang tak pernah peduli kepadaku. Aku berusaha untuk tak memikirkan dan acuh tak acuh.
***
Seminggu kemudian bapak datang, dia membawa kabar kalau mamakku, sudah agak baikan. Dan sekarang ia dibawa kerumah orangtuanya di Bulukumba, bapakku bilang kalau mamak ingin sekali bertemu denganku. Aku menoleh kearah nene, dan nene menganggukan kepala satu isyarat bahwa ia menyetujuinya.
Aku memasuki sebuah pekarangan rumah kayu yang lumayan luas, rumah bangsawan bugis. Ada perbedaan antara rumah kaum bangsawan dan rumah rakyat biasa. Walaupun sama-sama rumah panggung. Kalau rumah bangsawan letak tangganya ada ditengah. Tapi kalau rumah rakyat biasa letak tangganya ada di pinggir. Kuseret  langkah kakiku, terasa berat sekali. Maklumlah aku hanya orang kampung yang tak punya pendidikan. Yang akan kutemui keluarga besar mamak yang hampir semuanya punya jabatan penting. Disini memang asas kekeluargaan masih dipegang teguh. Dari mulai bupati sampai kepala desa masih ada hubungan kekerabatan dengan keluarga besar disini. Wajar kalau aku sedikit nerveus, baru kali ini aku akan dipertemukan dengan keluarga besar mamak. Keringat dingin mengalir diseluruh tubuhku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi didalam sana. Apakah mereka akan menolak atau menerima kehadiranku ?     
Setelah satu-satu aku salami tibalah saat yang paling mendebarkan, aku akan menemui mamakku didalam kamar.  Aku masuk sendiri tanpa ada yang menemani, kulihat mamak terbaring lemah. Bau busuk menusuk hidung, bersumber dari perban yang membungkus payudaranya. Kangker ganas itu telah menyedot berat badan mamak. Mamak nampak kurus kering. Aku duduk disamping mamak, kupandangi dengan lekat. Wajahnya tak ada bedanya denganku, bagaimana bisa mamak tak mengakui aku sebagai anaknya ? jerit batinku. Tak terasa ada aliran hangat menetes dipipiku. Lama-lama semakin deras seperti anak sungai mengalir. “ Ya Allah… cepat cabut penderitaan Mamakku.” Tiba-tiba hatiku berkata demikian.
Mata yang tertutup itu lambat-lambat terbuka. “ Kau Dida “ “ iye saya “ cepat cepat kuhapus air mata aku tak mau dibilang laki-laki cengeng. Mamak memelukku erat mencair sudah kebekuan antara kami. Mamak tergeletak dipangkuanku, aku kaget, kugoyang-goyang badannya, dan kupegang denyut nadinya. berhenti. Tak ada denyutan kurasakan, mamak meninggal dipangkuanku. Mamak pulang dipanggil oleh yang maha kuasa, siapapun tak mampu mencegah. Tak terkecuali aku yang baru bertemu dengannya. Andai aku bisa menawar, jangan dulu mamakku yang kau panggil Tuhan. Karena aku ingin merasakan lebih lama  hangatnya pelukan mamak.
Semua mata berkaca-kaca, bahkan adekku yang bontot meraung-raung. Menangisi mamak. Maklumlah ia anak yang sangat dimanja sama mamak. Aku memiliki 3 orang adek laki-laki, semua tinggal bersama mamak, dan sangat dekat dengannya. Merekalah yang paling terpukul dengan meninggalnya mamak. Adekku yang paling tua Azam namanya, ia lah yang paling dekat denganku, karena ia sejak kecil selalu pergi kerumah Nene di Sinjai. Ia memelukku dengan erat. Dan air mata kamipun tumpah.
Setelah dimandikan, disholatkan lalu jenazah disemayamkan diperistirahatan terakhir.  Aku duduk termenung ditangga rumah kayu, memandang kosong kejalan raya. Aku masih merasa asing dikeluarga ini. Jadi aku putuskan untuk tak banyak bicara. Tiba-tiba Azam datang dari dalam rumah dan menyerahkan sepucuk surat. Katanya dari Mamak.
“ beberapa hari yang lalu mamak memberiku sepucuk surat  yang ditujukan buatmu, tapi karena aku sibuk kuliah dan mengurus administrasi rumah sakit jadi baru sempat aku kasihkan sekarang. “  “ ndak pa pa, makasih ya.”
Sepeninggalnya Azam, kubuka surat dari Mamak dan kubaca dengan perlahan.
“ Ndi maafkan mamak, kini mamak sudah membayar karmanya. Mamak bersalah sudah menyia-nyiakan anak yang tidak berdosa dan tidak menyusuimu, sehingga Tuhan Allah menegur mamak dengan  penyakit kangker  payudara. Tapi mamak ikhlas mudah-mudahan penyakit ini bisa menebus dosa-dosa mamak.
Mamak mengerti kalau kau membenci mamak, karena mamak yang telah meninggalkanmu. Sehingga berapa kali mamak panggil kau untuk datang, tidak pernah kau penuhi panggilan mamak. Jadi mamak tulis surat ini dan dititip pada Azam.
Sebenarnya mamak panggil kau kesini ada yang mau mamak berikan untukmu, rekening mamak yang khusus mamak simpan untukmu, mudah-mudahan cukup untuk merintis usaha demi masa depanmu. Isinya memang tak seberapa, dan tidak juga bisa menebus rasa bersalah mamak, tapi mudah-mudahan bisa kau manfaatkan sebaik-baiknya.
Wassalam
Mamak
Ya Allah, maafkan aku. Dan terimalah amal baik mamak selagi hidup dan hapuskanlah semua dosa-dosanya. Amiin. Kulipat kembali surat mamak baik-baik.
Bandung,  Januari  2013
Daftar istilah : Baah = iya , Andi (Ndi) panggilan kehormatan kaum bangsawan bu



0

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar, saran dan kritik dengan bahasa yang sopan, jangan spam ya!